Minggu, 31 Oktober 2010

PETUNJUK PENGGARAPAN DAN PENGIRIMAN JAWABAN UTS 3A-3F SEMESTER GANJIL TAHUN 2010

Petunjuk Penggarapan dan Pengiriman:
1. Ujian dikerjakan secara mandiri dan merupakan jawaban pribadi.
2. Jawaban yang sama dengan teman tidak mendapatkan nilai dan dianggap gugur.
3. Jawaban diketik menggunakan huruf times new roman ukuran 12 dan spasi 1,5.
4. Sertakan kutipan dan bukti otentik (berupa kutipan dan/atau penggalan teori/pendapat dan/atau cerita di dalam karya sastra).
5. Gunakan kaidah pengutipan secara ilmiah.
6. Gunakan penggunaan penggalan cerita sebagai bukti otentik secara ilmiah.
7. Identitas ditulis di pojok kiri atas (nama, NPM, kelas, semester, dll) atau dengan menggunakan cover (sesuai kaidah penulisan cover yang saya sarankan).
8. Sertakan daftar pustaka yang ditulis sesuai dengan kaidah yang saya sarankan (bagi mahasiswa kelas A, C, dan D harap bertanya kepada mahasiswa B, E, dan F) minimal 5 buku, 5 artikel, dan 5 jurnal.
9. Kirim jawaban melalui alamat email fathyus@yahoo.com secara individu dan menggunakan alamat email pribadi.
10. Jawaban diterima paling lambat Sabtu, 6 November 2010 pukul 12.00 WIB.

SOAL UTS 3A-3F SEMESTER GANJIL TAHUN 2010

PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2010
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
Jalan Halmahera KM 1 Tegal 52122 Telp. (0283) 357122


Mata Kuliah : Kajian Prosa
Prodi : PBSID
Semester : 3A-3F
Dosen Pengampu:
Siti Fatimah, S.S., M. Pd.


SOAL UTS KELAS 3A-3F
Petunjuk:
Baca baik-baik soal yang diberikan. Jawaban murni pemikiran Saudara. Makin detail/rinci jawaban makin tinggi skor yang akan Saudara dapatkan. Jawaban yang sama dengan teman sekelas atau lain kelas maka Saudara dianggap menjiplak dan Saudara dianggap gugur dalam Ujian Akhir Semester!

Soal:
1. Jelaskan yang dimaksud dengan kajian prosa (menurut Saudara secara pribadi)!
2. Sebutkan dan jelaskan unsur pembangun prosa fiksi (menurut Saudara secara pribadi)!
3. Buatlah kajian terhadap cerpen yang berjudul Kecubung Pengasihan karya Danarto (dengan bahasa dan format yang efektif dan efisien atau tepat guna dan berdaya guna)! Kajian tersebut minimal mencakupi judul kajian, sinopsis, teori yang digunakan, unsur yang ditonjolkan, dan sertakan bukti-bukti otentiknya.


“TUTMBURI MBAHAYANI”
SEMOGA SUKSES

Minggu, 10 Oktober 2010

NOVEL YANG HARUS DIBACA

RONGGENG DUKUH PARUK (AHMAD TOHARI)

GARIS TEPI SEORANG LESBIAN (HERLINATIENS)

JALA (TITIS BASINO)

BUKU BACAAN

1. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Raminah Baribin.
2. Anatomi Sastra. Depdikbud UT.
3. Dasar-Dasar Kajian Fiksi. Burhan Nurgiyantoro.
4. Dasar-Dasar Teori Sastra. S. Suharianto.
5. Memahami dan Menikmati Cerita Rekaan. S. Suharianto.
6. Memahami Cerita Rekaan. Panuti Sudjiman.
7. Pengkajian Struktur Cerita Rekaan. Nas Haryati Setyaningsih.
8. Apresiasi Kesusatraan. Yacob Sumardjo.
9. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Henry Guntur Tarigan
10. Apresiasi Prosa dan Puisi. Putu Arya Tirtawirya.
11. Teori Kesusastraan. Renne Wellek dan Austin Warren.

BEBERAPA MODEL TELAAH/KAJIAN SASTRA

Telaah atau kajian sastra dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui dan memahami apa yang ada di dalam karya sastra dan mengapa begitu. Ketika membaca suatu karya sastra diharapkan pembaca tidak hanya sampai pada sekadar tahu ceritanya melainkan harus sampai pula pada “nilai-nilai” apa yang dapat diperoleh dari karya sastra tersebut dan dapat menerima “keindahan” dan “daya tarik” setiap karya sastra yang dibacanya itu.
Berdasarkan objek telaahnya, telaah/kajian sastra dapat dibedakan atas:
a. Unsur Instrinsik
Kajian yang sasarannya berupa unsur-unsur pembangun karya sastra dari dalam. Arah kajian ini ialah pada keberadaan karya sastra sebagai struktur verbal otonom atau objek yang mandiri atau dunia yang lengkap dan selesai dalam dirinya sendiri (self object; world-in-itself). Telaah ini disebut juga kajian objektif.
b. Unsur Ekstrinsik
Kajian yang sasarannya berupa unsur-unsur pembangun karya sastra dari luar. Arah kajian ini dapat pada:
1) keberadaan karya sastra sebagai imitasi, refleksi dunia atau kehidupan manusia (sisebut kajian mimesis)
2) sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek tertentu pada pembaca, baik estetis maupun etis (disebut kajian pragmatik)
3) sebagai produk imajinasi pengarang yang berpangkal pada persepsi, cipta, rasa, dan karsanya (disebut kajian ekspresif)
Berdasarkan pendekatannya, kajian sastra dapat dibedakan atas:
a. Kajian Historis-Biografis
Telaah ini berangkat dari anggapan bahwa karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan dan zaman yang dialami pengarang. Atas dasar itu, kajian ini lebih diarahkan pada adanya kesesuaian atau tidak—atau seberapa banyak kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu ada atau mempengaruhi suatu karya sastra.
b. Kajian Moral-Filosofis
Kajian ini berpangkal dari dasar pikiran bahwa karya sastra itu merupakan media menyampaikan nilai-nilai, ajaran-ajaran religi maupun falsafah. Dengan demikian, arah telaah ini lebih ditujukan kepada upaya menemukan nilai-nilai moral atau pendidikan yang terdapat di dalam suatu karya sastra.
c. Kajian Formalitas
Telaah ini berangkat dari dasar pikiran bahwa karya sastra itu terdiri dari bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan bentuk ialah semua unsur yang dimanfaatkan untuk menyampaikan isi. Sementara itu yang dimaksud dengan isi ialah segala hal yang terdapat di dalam bentuk.
Bertolak dari pikiran itu, sasaraan telaah lebih ditujukan kepada bagaimana bentuk karya sastra yang ditelaah tersebut dan apa yang hendak disampaikan oleh karya sastra bersangkutan.
d. Kajian Strukturalisme
Telaah ini berangkat dari dasar pendapat bahwa karya sastra itu merupakan sebuah sistem. Setiap unsur pembangun karya sastra itu berkait dengan unsur lain. Masing-masing unsur hanya bermakna dalam keterkaitannya dengan unsur lain.
Dengan dasar itu, arah telaah ini ditujukan untuk melihat bagaimana keterkaitan atau jalinan antarunsur pembangun karya sastra yang ditelaah tersebut.
e. Kajian Semiotis
Telaah ini berangkat dari dasar pikiran bahwa sastra itu merupakan salah satu sistem tanda yang bermakna yang menggunakan medium bahasa. Sementara itu bahasa sendiri sebenarnya juga mempunyai sistem tanda yang bermakna.
Oleh karena itu, maka sastra dikatakan sebagai sistem tanda sekunder sedangkan bahasa sebagai sistem tanda primer. Dalam memahami sastra dengan pendekatan semiotik, hal yang harus diperhatikan adalah bahwa arti yang dapat diungkapkan dari sastra bukan semata-mata datang dari konvensi sastra, tetapi untuk memahami sastra pembaca harus memahami kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
f. Kajian Sosiologis
Telaah ini berangkat dari dasar pikiran bahwa ada keterkaitan antara sastra dan masyarakat. Atas dasar itu, kajian sosiologis biasanya lebih diarahkan kepada (misal) sejauh mana sastra mencerminkan kehidupan masyarakat pada saat karya sastra itu muncul, apa fungsi karya sastra itu bagi masyarakat, dan bagaimana dampak karya sastra itu bagi masyarakat pembacanya.
g. Kajian Resepsi Estetika
Telaah ini berangkat dari dasar pikiran bahwa yang menentukan makna karya sastra itu adalah pembaca. Respon pembaca sangat ditentukan oleh pengetahuannya mengenai sastra, latar belakang pendidikannya, budayanya, keyakinannya, dan sebagainya. Dengan demikian, maka hasil kajian seseorang terhadap suatu karya sastra dapat berubah-ubah. Jadi, berdasarkan pendekatan ini sebuah teks tidak memiliki arti objektif.
h. Kajian Psikologis
Telaah/kajian ini memiliki 4 kemungkinan:
1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi
2) studi proses kreatif
3) studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra
4) studi dampak karya sastra pada pembaca (psikologi pembaca)

UNSUR PEMBANGUN

a. Tokoh dan Penokohan
Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, meskipun dapat juga berwujud binatang, atau benda yang diinsankan.
Tokoh dalam cerita rekaan bersifat fiktif. Meskipun demikian, agar kehadirannya dapat diterima pembaca, tokoh hendaknya tidak terlalu asing bagi pembaca. Tetapi harus disadari pula bahwa tokoh di dalam cerita rekaan tidak sama persis dengan manusia pada dunia nyata. Tokoh cerita rekaan tidak sepenuhnya bebas. Ia merupakan bagian dari suatu keutuhan artistik, yaitu karya sastra.
Pembagian tokoh berdasarkan fungsinya, yaitu:
1) Tokoh Sentral
Tokoh sentral ini dibagi menjadi 3, yaitu:
(a) Tokoh Utama/Protagonis
Tokoh utama/protagonis yaitu tokoh yang memegang peran pimpinan. Ia menjadi pusat sorotan dalam cerita. Kriteria penentuan tokoh utama:
(1) intensitas keterlibatan tokoh itu dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita
(2) hubungan antartokoh
(b) Tokoh Antagonis (tokoh penentang protagonis)
(c) Tokoh Wirawan/Wirawati dan Antiwirawan
2) Tokoh Bawahan
Tokoh bawahan yaitu tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untukk menunjang atau mendukung tokoh utama. Yang termasuk tokoh bawahan misalnya:
(a) Tokoh Andalan
Tokoh andalan yaitu tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan protagonis yang dimanfaatkan untuk memberi gambaran lebih terinci mengenai tokoh utama.
(b) Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan yaitu tokoh yang tidak memegang peranan yang penting dakam cerita, misalnya tokoh lantaran
Pembagian tokoh berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, yaitu:
1) Tokoh Dasar/Sederhana/Pipih
Tokoh dasar/sederhana/pipih adalah tokoh yang hanya diungkap salah satu segi wataknya saja. Watak tokoh datar sedikit sekali berubah. Termasuk di dalam tokoh datar adalah tokoh stereotif.
2) Tokoh Bulat/Kompleks/Bundar
Tokoh bulat/kompleks/bundar adalah tokoh yang wataknya kompleks, terlihat kekuatan dan kelemahannya. Ia mempunyai watak yang dapat dibedakan dengan tokoh-tokoh yang lain. Tokoh ini dapat mengejutkan pembaca karena kadang-kadang darinya dapat terungkap watak yang tak terduga sebelumnya.
Penokohan atau perwatakan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan tokoh, baik keadaan lahir maupun batinnya, yang dapat berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Sementara itu, yang dimaksud watak adalah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain.
Ada 3 macam metode penokohan yang biasanya digunakan secara bersama-sama dalam sebuah cerita, yaitu:

1) Metode Langsung/Analitis/Perian/Diskursif
Dalam metode ini pengarang langsung menguraikan atau menggambarkan keadaan/watak tokoh.
2) Metode Tidak Langsung/Ragaan/Dramatik
Dalam metode ini pengarang secara tersamar dalam memberitahukan wujud atau keadaan tokoh cerita. Dalam hal ini watak disampaikan melalaui:
(a) pikiran, dialog, dan tingkah laku tokoh
(b) penampilan fisik tokoh
(c) gambaran lingkungan atau tempat tinggal tokoh
(d) sikap tokoh dalam menghadapi kejadian atau tokoh lain
(e) tanggapan tokoh lain dalam cerita yang bersangkutan
3) Metode Kontekstual
Dalam metode ini pengarang menggambarkan watak tokoh melalui bahasa yang digunakan oleh tokoh yang bersangkuta.
Cerita rekaan modern cenderung menekankan unsur perwatakan atau penokohan. Tokoh-tokoh cerita rekaan modern mendapat sorotan yang lebih tajam dibandingkan dengan cerita rekaan pada awal perkembangan sastra Indonesia. Kejadian-kejadian berpusat pada konflik watak tokoh utamanya.
Mutu cerita rekaan banyak ditentukan oleh kepandaian pengarang dalam menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Pengarang yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokohnya akan meyakinkan kebenaran cerita yang disampaikannya.
b. Alur dan Pengaluran
Alur cerita atau plot adalah jalinan peristiwa secara beruntun dalam sebuah cerita dengan memperhatikan hubungan sebab-akibat sehingga cerita itu merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh.
Alur berbeda dengan jalan cerita. Alur memperhatikan hubungan sebab-akibat dalam rangkaian peristiwanya sedangkan jalan cerita hanya sekadar mempersoalkan lanjutan peristiwa demi peristiwa. Meskipun keduanya mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa, alur bersifat lebih kompleks daripada jalan cerita.
Bagian-bagian alur:
1) Pemaparan
Pemaparan yaitu bagian cerita tempat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan yang merupakan awal cerita.
2) Penggawatan
Penggawatan yaitu bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak. Mulai terasa adanya konflik dalam bagian ini.
3) Penanjakan
Penanjakan yaitu bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik mulai memuncak.
4) Puncak/Klimaks
Puncak/klimaks yaitu bagian cerita yang melukiskan konflik mencapai puncaknya. Sering juga bagian ini disebut krisis atau titik balik.
5) Peleraian
Peleraian yaitu bagian cerita yang menunjukkan konflik mulai menurun.
6) Selesaian
Selesaian yaitu bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan dari semua peristiwa yang telah terjadi dalam cerita.
Beberapa faktor penting dalam alur:
1) Intisari alur adalah konflik. Konflik dalam cerita rekaan dapat berupa:
(a) konflik eksternal
Konflik eksternal yaitu konflik antartokoh atau konflik antara tokoh dengan lingkungannya.
(b) konflik internal
Konflik internal yaitu pertentangan antara dua keinginan dalam diri seorang tokoh. Konflik jenis ini disebut juga konflik psikologis.
2) Untuk memancing keingintahuan pembaca akan kelanjutan cerita, pengarang menciptakan suspense (tegangan). Tegangan adalah ketidakpastian yang berkepanjangan dan makin menjadi-jadi. Beberapa sarana untuk menciptakan tegangan di antaranya:
(a) sorot balik
(b) regangan dan susutan (topping and dropping)
(c) padahan (foreshadowing)
3) Cerita harus meyakinkan, artinya masuk akal (plausibility) yang harus dinilai berdasarkan ukuran yanga ada dalam karya itu sendiri.
4) Supaya cerita tidak membosankan perlu adanya kejutan, tetapi hendaknya dalam batas-batas kebolehjadian (plausibility).
5) Faktor “kebetulan” dapat dimanfaatkan untuk melancarkan cerita sepanjang tidak terasa dipaksakan.
c. Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan ruang, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita rekaan. Secara terperinci, latar meliputi penggambaran:
1) Lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai pada perincian sebuah ruangan.
2) Waktu terjadinya peristiwa, sejarahnya, musim terjadinya.
3) Lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional para tokoh cerita.
Latar yang juga disebut setting cerita rekaan bukan sekadar background cerita. Dalam cerita rekaan, latar hendaknya mempunyai fungsi untuk menggarap tema dan penokohan. Dari latar wilayah tertentu, misalnya, harus dihasilkan watak tertentu, tema tertentu, cerita dengan latar perang misalnya, dapat berbicara soal-soal yang khusus seperti dendam, pelarian, pengkhianatan, patriotisme, dan kemanusiaan.
Macam-macam latar:
1) Latar Fisik
Latar fisik yaitu tempat dalam wujud fisiknya, yakni bangunannya, daerahnya, dan sebagainya.
2) Latar Sosial
Latar sosial yaitu latar yang mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaannya, cara hidupnya, bahasanya, dan sebagainya, yang melatari peristiwa dalam cerita.
3) Latar Spiritual
Latar spiritual yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu.
4) Latar Netral
Latar netral yaitu latar yang hanya melengkapi cerita karena dalam cerita itu yang dipentingkan bukan latarnya melainkan unsur cerita yang lainnya.
Fungsi latar, yaitu:
1) memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2) sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh
3) menciptakan suasana
4) membentuk tema tertentu
5) membentuk alur tertentu
6) mendukung penokohan dan mengungkapkan watak tokoh
d. Tema dan Amanat
TEMA merupakan gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu cerita rekaan. Tema terasa mewarnai cerita dari awal sampai akhir. Tema pada hakikatnya adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu. Mesekipun demikian, tema tidak perlu selalu berwujud ajaran moral. Tema bisa saja hanya berwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan, simpulannya, atau bahkan hanya hasil pengamatannya saja. Pengarang bisa saja hanya mengemukakan suatu masalah kehidupan tanpa memberikan jalan keluarnya karena jalan keluarnya diserahkan kepada masing-masing pembaca.
Mencari arti sebuah cerita rekaan pada dasarnya adalah mencari tema dalam cerita tersebut. Tapi pada kenyataannya, menemukan sebuah tema itu tidak selalu mudah. Kadang-kadang orang mengacaukan tema dengan topik. Sebenarnya kedua istilah itu tidak sama. Tema merupakan gagasan sentral, yakni masalah yang menjadi pokok persoalan di dalam cerita rekaan, yang dapat dijabarkan dalam beberapa topik.
Misalnya saja novel Pada Sebuah Kapal karya N. H. Dini. Temanya adalah emansipasi wanita yang dimanifestasikan dalam tokoh Sri. Tema itu kemudian dijabarkan dalam topik: harga diri, persamaan hak, kewajiban, dan kedudukan/kesempatan yang dirasakan tidak diberikan pria lepada wanita, dan usa mencari kebahagiaan.
Jadi, topik lebih konkret daripada tema. Tema dapat meliputi aspek kejiwaan manusia, aspek sosial, politik, sejarah, yang masing-masing dapat dikonkretkan menjadi pokok gagasan (topik) yang lebih khusus.
Perwujudan tema. Tema yang banyak dijumpai dalam cerita rekaan yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara yang baik dan yang buruk yang sering dinyatakan dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman melawan keadilan, dan sebagainya, dengan memenangkan yang baik. Tema seperti itu dikatakan tema tradisional. Tema modern biasanya menentang tema tradisional.
Tema di dalam cerita rekaan dapat diwujudkan secara tersurat, tetapi dapat juga diwujudkan secara tersirat. Tema diwujudkan secara tersurat apabila tema itu secara tegas dinyatakan, misalnya melalui judulnya. Sementara itu, tema yang dinyatakan secara tersirat apabila tema itu dinyatakan secara tidak tegas atau tidak langsung, misalnya dinyatakan secara simbolis melalui judulnya, atau implisit terkandung dalam keseluruhan cerita.
Cerita rekaan modern cenderung mengemukakan tema cerita secara tersirat. Oleh karena itu, untuk menemukan tema sebuah cerita rekaan haruslah dengan bimbingan cerita itu sendiri. Cerita itu harus dibaca secara cermat sehingga ditemukan kejelasan tentang motivasi tokoh, problem yang dialaminya, dan keputusan yang diambilnya. Harus diketahui juga konflik sentralnya karena ia akan membimbing pembaca untuk menemukan temanya.
Perlu diketahui bahwa satu tema dapat menghasilkan berpuluh-puluh cerita, baik yang berbobot maupun yang tidak atau kurang berbobot. Dengan kata lain, baik-buruknya cerita rekaan tidak ditentukan semata-mata oleh tema yang ingin disampaikan pengarang, melainkan lebih disebabkan oleh cara pengarangnya.
AMANAT. Dari tema sebuah cerita rekaan kadang-kadang dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita yang ditulisnya. Ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui ceritanya itulah yang disebut amanat.
Amanat dalam cerita rekaan dapat disampaikan secara langsung dan dapat pula disampaikan secara tidak langsung. Amanat disampaikan secara langsung apabila ajaran moral atau pesan itu disampaikan secara eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, menggurui pembaca dan secara langsung memberikan nasihat dan petuahnya. Sementara itu, amanat disampaikan secara tidak langsung apabila pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur cerita yang lain.
Jenis dan wujud pesan atau amanat itu sendiri dapat mencakup masalah seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh masalah yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan menjadi persoalan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan masyarakatnya, dengan lingkungannya, dan dengan Tuhan. Namun demikian, di antara persoalan hidup dan kehidupan itu, yang banyak diangkat dalam cerita rekaan adalah pesan religius/keagamaan dan kritik sosial.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of vieuw merupakan cara memandang yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah cerita rekaan kepada pembaca. Dengan demikian, pada hakikatnya sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
Macam-macam sudut pandang, yaitu:
1) Sudut Pandang Orang I (first person point of vieuw)
Pencerita sebagai salah satu tokoh dalam cerita yang dalam berkisah mengacu pada dirinya sendiri dengan sebutan aku atau saya.
Ada dua kemungkinan sudut pandang Orang I, yaitu:
(a) “Aku” sebagai tokoh utama (first person central)
(b) “Aku” sebagai tokoh tambahan (first person peripheral)
2) Sudut Pandang Orang III (third person point of vieuw)
Pencerita yang dalam kisahannya mengacu kepada tokoh utama dengan menggunakan kata ganti orang III (dia atau ia). Dalam sudut pandang ini pencerita berada di luar cerita. Ada dua kemungkinan sudut pandang orang III, yaitu:
(a) “Dia” Serba Tahu
Apabila “dia” mengetahui segala sesuatu tentang tokoh dan peristiwa yang berlaku dalam cerita bahkan mampu mengungkap pikiran, perasaan, dan aspirasi tokoh.

(b) “Dia” Terbatas
Apabila “dia” hanya dapat menceritakan tokoh cerita terbatas pada apa yang dapat diamati dari luar. Ia lebih objektif dan impersonal dalam bercerita. Ia hanya membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang dapat diamati tanpa menggunakan kesempatan untuk memasuki batin atau pikiran tokoh.

Pemilihan sudut pandang dan efeknya. Dalam menyajikan cerita, seorang pengarang harus menentukan sudut pandang; ia harus menentukan dari sudut pandang mana sebaiknya erita itu disajikan.
Pemilihan sudut pandang itu didasarkan faktor-faktor tertentu, seperti suasana cerita, kategori atau jenis cerita, serta maksud cerita.
Ditinjau dari penangkapan dan pemahaman cerita oleh pembaca, relevansinya dengan sifat cerita, dan keakraban hubungan antara pencerita, cerita, dan pembaca, setiap sudut pandang ada baik-buruknya, di antaranya ialah:
1) Sudut Pandang Orang I
(a) Cepat membina keakraban antara cerita dan pembaca, tetapi ada keterbatasan karena sudut pandangnya bersifat sepihak.
(b) “Aku” secara langsung dan bebas dapat menyatakan sikap, pikiran, dan perasaannya sendiri kepada pembaca, tetapi tentang tokoh lain ia hanya dapat memberikan pandangan dari pihaknya sendiri. Ia tidak dapat menduga dalam-dalam pikiran dan sikap tokoh lain. Tetapi karena ia harus membatasi penceritaan dengan cara memandang segala sesuatu dari satu sudut, ceritanya menjadi padat padu.
(c) Pencerita tidak dapat memperkenalkan apa yang berlangsung pada waktu yang bersamaan di tempat lain.
(d) Sudut pandang orang I cocok untuk cerita dengan kecenderungan psikologis.
2) Sudut pandang orang III
(a) Dapat menceritakan beberapa tokoh secara serempak dalam waktu yang bersamaan.
(b) Apabila “dia” mahatahu, dia dapat mengamati segala sesuatu yang terjadi, bahkan dapat menembusi pikiran dan perasaan tokoh. Ia dapat berkomentar dan memberikan penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkannya.
(c) Apabila “dia” mahatahu kelemahannya ialah bertentangan dengan kenyataan hidup yang sebenarnya.
(d) Sudut pandang “dia” terbatas dapat lebih objektif.
f. Bahasa dalam Cerita Rekaan
Untuk memperoleh efektifitas pengungkapan, bahasa dalam sastra (baca: cerita rekaan) disiasati, dimanipulasi, didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan sosok yang berbeda dengan bahasa nonsastra.
Bahasa dalam cerita rekaan mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai pendukung arti dan sekaligus pengemban rasa. Berkaitan dengan 2 fungsi tersebut, bahasa cerita rekaan mempunyai beberapa ciri, di antaranya:
1) bersifat emotif
2) penuh asosiasi
3) ekspresif
4) pragmatis
g. Gaya (Style)
Gaya adalah cara pengucapan bahasa dalam cerita rekaan, atau bagaimana pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Gaya merupakan pembawaan pribadi yang khas.
Gaya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan, seperti:
1) pilihan kata
2) struktur kalimat
3) bentuk-bentuk bahasa figuratif
4) sarana retorika.
Gaya bermaca-macam sifatnya, bergantung pada:
1) konteks di mana dipergunakan
2) selera pengarang
3) tujuan penuturan itu sendiri
Unsur gaya, yaitu:
1) Unsur leksikal yang menyangkut diksi, yakni penggunaan kata-kata yang sengaja dipilih pengarang.
2) Unsur gramatikal yang menyangkut struktur kalimat yang digunakan pengarang dalam cerita rekaan yang ditulisnya.
3) Sarana retorika, yaitu penggunaan berbagai bentuk kebahasaan untuk memperjelaas dan memperindah pengungkapan sehingga dihasilkan wacana yang efektif dan khas. Yang termasuk sarana retorika di antaranya:
(a) pencitraan bahasa kias
(b) penyiasatan struktur

UNSUR ISI DAN BENTUK

Sebuah cerita rekaan terbentuk dari dua unsur pokok, yaitu unsur isi dan unsur bentuk. Isi yaitu sesuatu yang ingin dikemukakan, diceritakan, atau disampaikan pengarang melalui karyanya. Sementara itu, bentuk adalah cara yang digunakan pengarang untuk menyampaikan isi.
Unsur bentuk dan unsur isi dalam sebuah cerita rekaan idealnya harus mendapat perhatian yang seimbang. Akan tetapi mengingat bahwa cerita rekaan lebih merupakan alat penyampai perasaan dari pikiran, dalam usaha menikmati cerita rekaan, dan karya seni pada umumnya, perhatian kita hendaknya dicurahkan kepada cara yang digunakan pengarang untuk menyampaikan isi, bukan pada apa yang ingin dikemukakan pengarang.
Dalam kaitannya dengan komunikasi yang terjadi antara karya sastra dengan pembacanya, diharapkan yang terjadi adalah komunikasi yang disebabkan oleh unsur bentuk cerita rekaan itu, bukan disebabkan oleh unsur isinya saja. Atau dengan kata lain, dalam menikmati cerita rekaan, yang diharapkan muncul adalah komunikasi imajinatif, bukan komunikasi senasib belaka.

JENIS CERITA REKAAN

a. Novel
Dalam arti luas, novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran luas di sini dapat berarti cerita dengan alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema atau permasalahan yang luas ruang lingkupnya, suasana cerita yang beragam, dan latar yang beragam pula. Tetapi ukuran luas di sini tidak mutlak sifatnya. Mungkin yang luas hanya salah satu unsurnya saja.
Karena keluasannya, dalam novel dimungkinkan adanya degresi, suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada cerita rekaan yang lain, yakni cerita pendek. Degresi atau disebut juga lanturan adalah masuknya masalah yang tidak begitu integral dalam cerita yang kehadirannya hanya sebagai pelengkap saja, dan ketidakhadirannya tidak akan mengganggu kepaduan cerita.
Di samping novel, di Indonesia juga dikenal istilah roman. Sebenarnya kedua bentuk cerita itu pada hakikatnya sama, baik dilihat dari teknik berceritanya maupun isi yang akan diungkapkan pengarang. Tetapi karena keduanya berasal dari sumber yang berbeda dan masuk ke Indonesia dalam kurun waktu yang berbeda, kemudian dicari-cari perbedaannya.
Berdasarkan isi dan tujuan serta maksud pengarang yang mendominasi novel yang ditulisnya, novel dibedakan menjadi:
1) novel bertendens
2) novel sejarah
3) novel adat
4) novel anak-anak
5) novel politik
6) novel psikologis
7) novel percintaan
Penggolongan lain dilakukan oleh Mochtar Lubis yang membagi novel menjadi 6, yaitu:
1) novel adventure (avontur)
2) novel psikologis
3) novel detektif
4) novel sosial
5) novel politik
6) novel kolektif
Di samping itu, ada pula yang membedakannya menjadi dua jenis novel, yaitu novel serius dan novel populer yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri.
b. Cerita Pendek
Cerita pendek yang lebih dikenal dengan sebutan cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Predikat pendek di sini bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita itu, atau sedikitnya tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan lewat bentuk karya itu.
Ruang lingkup yang disuguhkan dalam cerita pendek adalah sebagian kecil dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. Cerita pendek hanya memusatkan perhatian pada tokoh utama dan permasalahannya yang paling menonjol yang menjadi pokok cerita. Oleh karena itu, kepaduan merupakan syarat utama sebuah cerita pendek.
Cerita pendek mempunyai kecenderungan berukuran pendek dan pekat. Dalam kesingkatannya, cerita pendek hanya mempunyai efek tunggal, karakter, alur, dan latar yang terbatas, tidak beragam, dan tidak kompleks. Dengan demikian, dalam cerita pendek tidak mungkin muncul degresi atau lanturan sebagaimana yang biasa terjadi dalam novel. Yang perlu diingat adalah bahwa dalam kesingkatannya, cerita pendek merupakan karya sastra yang lengkap dan selesai sebagai suatu bentuk karya rekaan.
Ada beberapa perbedaan antara cerita pendek dengan novel. Perbedaan itu di antaranya meliputi segi: formalitas bentuk, plot, tema, penokohan, latar, dan kepaduan cerita.

FUNGSI CERITA REKAAN

Ada dua fungsi yang diemban oleh cerita rekaan, dan karya sastra pada umumnya, yaitu untuk memberikan hiburan dan memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembacanya seperti yang dikemukakan oleh Horace atau Horatius (dulce et utile yang artinya menyenangkan dan berguna).
Dengan membaca cerita rekaan, pembaca menikmati cerita untuk menghibur diri dan memperoleh kepuasan. Kemudian melalui sarana cerita itu, pembaca secara tidak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan keidupan secara sengaja ditawarkan oleh pengarang. Oleh karena itu, di samping memberikan hiburan, cerita rekaan sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif dan bijaksana. Itulah fungsi cerita rekaan.

PENGERTIAN PROSA

Prosa merupakan salah satu genre sastra, biasanya disebut cerita fiksi (fiction dari bahasa Inggris) atau cerita rekaan (disingkat cerkan) atau cerita khayalan. Prosa merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Dengan kata lain, prosa atau cerita rekaan merupakan karya imajiner yang menceritakan sesuatu bersifaat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata.

Cerita rekaan menampilkan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Cerita rekaan merupakan dialog dan reaksi pengarang terhadap lingkungan kehidupan. Walaupun berupa karya khayalan, cerita rekaan merupakan hasil penghayatan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Dengan demikian, cerita rekaan bukan sekadar hasil kerja lamunan.

Cerita rekaan menawarkan sebuah dunia, dunia imajiner, yang dibangun melalui cerita, tokoh, peristiwa demi peristiwa, latar, yang semuanya tentu saja juga bersifat imajinatif. Meskipun demikian, “dunia” di dalam cerita rekaan dibuat mirip dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa faktualnya sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi. Akan tetapi semua itu berjalan dengan sistem koherensinya sendiri. Dengan demikian, kebenaran dalam cerita rekaan tidak sama dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa dunia dalam cerita rekaan merupakan dunia lain di samping kenyataan meskipun dalam beberapa aspek menunjukkan kesamaan.