Senin, 25 April 2011

PETUNJUK DAN SOAL UAS SEMESTER 4A-4C UNIKAL 2011

PETUNJUK PENGGARAPAN DAN PENGIRIMAN JAWABAN UAS 4A-4B SEMESTER GENAP TAHUN 2011

1. Ujian dikerjakan secara mandiri dan merupakan jawaban pribadi.

2. Jawaban yang sama dengan teman tidak mendapatkan nilai dan dianggap gugur.

3. Jawaban diketik menggunakan huruf times new roman ukuran 12 dan spasi 1,5.

4. Jawaban minimal 20 halaman.

5. Sertakan kutipan dan bukti otentik (berupa kutipan dan/atau penggalan teori/pendapat dan/atau cerita di dalam karya sastra).

6. Gunakan kaidah pengutipan secara ilmiah.

7. Gunakan penggunaan penggalan cerita sebagai bukti otentik secara ilmiah.

8. Identitas ditulis di pojok kiri atas (nama, NPM, kelas, semester, dll) atau dengan menggunakan cover (sesuai kaidah penulisan cover yang saya sarankan).

9. Sertakan daftar pustaka yang ditulis sesuai dengan kaidah yang saya sarankan minimal 5 buku, 5 artikel, dan 5 jurnal mengenai sastra dan kajian drama.

10. Kirim jawaban melalui alamat email fatimah_juwana@yahoo.com dengan cara mahasiswa 1 kelas menggunakan 1 alamat email. Gunakan microsoft word 2003.
11. Jawaban diterima paling lambat Jumat, 12 Mei 2011 pukul 12.00 WIB.

12. Ketika soal ini Saudara terima dan baca maka saya tidak melayani pertanyaan via email, facebook, dan handphone.

13. Saya akan hadir Kamis, 15 Mei 2011 (perkuliahan tatap muka).
14. Pilih salah satu objek kajian Saudara: novel saja atau cerpen saja (yang telah saya berikan/sarankan).
15. Tunjukkan harga diri Saudara melalui karya sendiri.



SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2011
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN



Mata Kuliah : Kajian Prosa
Prodi : PBSID
Semester : 4A-4C
Dosen Pengampu :Siti Fatimah, S.S., M. Pd.

Petunjuk:
Baca baik-baik soal yang diberikan. Jawaban murni pemikiran Saudara. Makin detail/rinci jawaban makin tinggi skor yang akan Saudara dapatkan. Jawaban yang sama dengan teman sekelas atau lain kelas maka Saudara dianggap menjiplak dan Saudara dianggap gugur dalam Ujian Akhir Semester!

Soal:
1. Buatlah kajian terhadap CERPEN atau NOVEL yang telah Saudara pilih dan baca (dengan bahasa dan format yang efektif dan efisien atau tepat guna dan berdaya guna)!
2. Kajian tersebut minimal mencakupi judul kajian, sinopsis, teori yang digunakan, unsur yang ditonjolkan, dan sertakan bukti-bukti otentiknya!


“MENJADI GURU TIDAK HANYA MENGAJAR TETAPI JUGA MENDIDIK MURIDNYA”
SEMOGA SUKSES

Senin, 11 April 2011

CERPEN UNTUK MAHASISWA UNIKAL 4C

SETELAH KAU MENIKAHIKU
(Novia Stephani_2003)


Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?”
Aku mengangguk cemberut.
“Apa jawabanmu kali ini?” godanya.
“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.”
Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.
“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.”
“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,” komentarku.
Alis Idan terangkat. “Kenapa?”
“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”
“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”
“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”
“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?”
“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?”
Idan tersenyum. “Ya, memang.”
“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.”.
Dan aku menghela nafas panjang. “Ah, ya. Calon.”
“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”
“Ya,” gumamku enggan.
“Bukan karena kau sama sekali antimenikah.”
Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”
“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”
“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”
“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku—-ia menghindar sambil tertawa.
“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,” aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”
“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”
Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”
“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”
“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”
“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.
“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”
Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”
“Aku tidak bisa, Dan.”
“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan.”
“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.
“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”
“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau perlu.”
“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-dalam. “Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”
Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”
“Bagaimana dengan keturunan?”
“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidupku. Di samping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan? Untuk apa?”
Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”
“Kau terlalu banyak menonton film romantis,” olokku. “Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”
“Berapa lama?”
“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi.”
“Imajinasi?”
“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.”
“Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”
“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.
“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”
Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah keras-keras.”
“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi, Dan. Bukan ide-ide konyol.”
Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”
Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.
“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”
Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.
“Ya. Aku percaya kepadamu.”
“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”
“Idan!” potongku tandas. “Ide apa?”
“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akan melakukan pernikahan.”
“Apa?”
“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”
“Bulan madu?”
Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, ”Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?”
“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”
“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan mantap. “Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian….”
“Serius, Idan, serius!”
“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun.”
“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”
“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.
“OK. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai.”
“Simulasi.”
“Idan!”
“Upit!”
“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera menjejeriku.
“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”
Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu.”
Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?”
Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku.”
“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya tampak begitu tulus.
“Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”
“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat raut wajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.”
Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun.”
Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Idan.
“Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.
“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi,” matanya kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”
“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.
Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”
“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”
“Terlalu nervous?”
“Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.”
Aku tersenyum.
“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.
“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”
“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku.”
Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan.
Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan —-simulasi-— kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.
“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.”
Kucicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
“Pramuka,” komentar Idan tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit.”
“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”
Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi.”
“Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu.”
“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.”
“Jadi?”
Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?” pintanya. “Aku punya rice cooker.”
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya. “Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.
“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,” lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”
Dahiku berkerut. “Untuk apa?”
“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”
Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”
“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”
“Kau kedengaran seperti diktator.”
“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”
“Itu terlalu banyak untukku.”
Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.
“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu.”
Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu,” desisnya kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya.
Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin.
Aku bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.”
Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu terima kasih!
Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.
Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.
Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat receiver.
“Upit?”
“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”
“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?”
“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku. “Kau di mana?”
“Di luar.”
“Di luar rumah?”
Ya. Dan aku lapar.”
“Oh, Tuhan….”
Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah sudah berapa lama ia di sana.
“Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!” teriakku kepadanya.
“Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.
“Di mana saja kau dua hari ini?”
“Di hotel kecil dekat kantor.”
Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.
“Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?” suaraku bergetar.
“Aku perlu baju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”
Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung, ”Selain itu, aku khawatir karena kau sendirian di sini.”
Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.
“Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. “Aku harus lembur. Dikejar deadline.”
Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku.
“Oke,” katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?”
“Asal kau sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.
Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.
Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action —-genre yang paling tidak kuminati, dan sepak bola—- olahraga yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa kulakukan.
Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku dengan sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan pertama aku berusaha mengerti. Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima kesabaranku tandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing.
“Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku.
“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.
“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”
“Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.”
“Kau bisa mencobanya minggu depan.”
“Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,” ia tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Aku bisa memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!”
“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.
“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat. “Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu cukup?”
“Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”
“Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu.”
“Oh, Tuhan!”
Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.”
“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan.”
“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.”
“Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman.”
“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.”
“Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”
Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”
“Ya!”
“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.”
“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!”
Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya.
“Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.”
“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku, apa kau tidak bisa memberiku….”
“Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti dan Flamingo.…”
“Placido Domingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan satu bola kulit!”
“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!”
“Kau kekanak-kanakan!”
“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!”
Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku.
Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah —-simulasi—- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku? Tidak!
Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.
Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.
“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,” katanya.
“Aku tidak mau pergi ke mal.”
“Kau bilang tadi pagi….”
“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat.”
“Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat….”
“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau.”
Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya. “Ayo!”
“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!”
Wajah Idan benar-benar merah sekarang. “Upit! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi.”
“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi.”
“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar….”
“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan.
Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.
Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor. Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang terkuak.
“Apa-apaan ini, Pit?” tanyanya.
“Aku pulang ke rumah Ibu.”
Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah ini kau menyerah?”
“Ini di luar dugaanku.”
“Apa?”
“Aku tidak mengira aku menikahi monster.”
Idan terdiam, menunduk.
“Aku…,” katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”
“Aku sudah terlalu gemuk.”
Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, ”Tidak. Kau cantik.”
“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa.”
“Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.”
“Kau gagal.”
“Setidaknya aku mencoba. Kau … kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil….”
“Simulasi.”
Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi.”
“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan.
Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu.”
Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.
“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.
“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”
Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup saat aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
“Ayo pulang,” katanya.
Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.
“Ganti bajumu,” katanya.
“Semua bajuku di dalam kopor.”
“Ambil bajuku.”
“Tidak akan pernah!”
Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar,”Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”
“Monster,” desisku.
Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setelah itu semuanya kabur.
Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.
“Ibu.”
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku. “Bagaimana? Sudah enakan?”
“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
“Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”
Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya. “Bagaimana, Bu?” tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
“Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”
Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”
Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capai?”
“Saya pakai baterai Energizer, Bu.”
Ibu tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”
Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”
Alangkah klisenya!
Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”
“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”
“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”
“Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat. Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya kucuil sedikit. Pijatannya di kakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai mengangguk terlelap.
Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya -- yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya -- yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?
Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis karena terharu.
“Kau tidak ke kantor?” tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
“Ini hari Minggu, Pit.”
“Aku sudah sakit selama seminggu?” bisikku tak percaya.
“Ya,” Idan tersenyum. “Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”
“Ibuku kan di sini.”
“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas. “Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan.”
Aku tersenyum.
“Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.
“Kau mau pergi memancing nanti sore?”
Ia menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah.”
“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya.”
“Terima kasih untuk apa?”
Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, ”Karena meminjamkanmu untukku hari ini.”
Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?”
Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya kemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu asin.”
“Selamat ulang tahun, Pit.”
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!”
“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”
Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.
Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku. Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.
“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.
“Apa?”
“Hadiahku.”
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
“Kau tidak menemukannya?” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.
Aku menggeleng.
“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.
“Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”
Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa. “Oh,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”
“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.
Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.
Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.
Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?
Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.
Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.
Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. “Kau datang.”
“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapa pun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.
“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya.
“Kau masih ingat.”
“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.
“Kapan kau pulang?”
“Tadi pagi.”
“Dengan anak istrimu?”
Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”
Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,” senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu.”
Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.
“Kau sendiri bagaimana, Ta?”
“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?
“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. “Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”
“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan “ya”? Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa?
Ia menggeleng. “Aku hanya memintamu memilih.”
Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, ”Kau sudah menikah?”
Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup. “Siapa?” tanyanya lirih.
“Idan,” jawabku kaku.
“Idan? Irdansyah temanmu?”
“Sahabatku.”
“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?”
Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.
Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.
“Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”
Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku terkesima.
“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.
“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.”
“Kau suka?”
Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. “Kau…. Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,” suaraku keluar dengan susah payah.
“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak mengingatmu,” ia tertawa kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.”
Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia? Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak.
Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri.
Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,” katanya dengan mata berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik….”
Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. “Maaf,” katanya sejenak kemudian.
“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.
“Baiklah. Mau kuantar?”
“Aku ada mobil.”
Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.”
Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya.
Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup.
“Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak punya banyak teman di sini.”
“Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.
Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnya ia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.”
Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya?
Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?
Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.
Aku memikirkanmu.
Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?
Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.
Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.
Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat kantorku.”
“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.”
Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba bertanya.
“Kenapa kau menikah dengan Idan?”
“Kenapa kau bertanya?”
“Seingatku, ia bukan tipemu.”
Aku tertunduk.
“Kenapa, Ita?”
“Idan mencintaiku,” bisikku pelan.
“Apa kau mencintainya.”
Kebisuanku memberinya jawaban.
“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.
Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”
“Jangan berbohong.”
“Idan suami yang baik.”
“Tapi apa kau bahagia?”
Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?
“Berapa lama kau menikah dengan Idan?”
“Setahun.”
“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan….”
“Stop.”
Aku bangkit dan meninggalkannya.
Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?
Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.
“Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan.”
Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.
“Idan.”
“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”
“Aku …. Kau tahu …,” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.
“Ya?” desak Idan.
“Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?”
“Sekretarismu? Tentu.”
“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”
“Lalu?”
“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”
“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”
“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.”
“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”
Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab.”
“Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana, “Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.
“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idan kembali di telepon.
“Karena kau yang membuatkan kopi?”
“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.”
“…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?”
“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.”
“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.”
“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”
“Keadaan.”
“Maksudnya?”
“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”
“Astaga. Kasihan sekali.”
“Jadi bagaimana?”
Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”
“Lantas aku mesti bilang apa?”
“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”
“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.
“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang.”
“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”
“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.”
“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. “Iya, Pak, sebentar. Istri saya ….”
Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.
"Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.
“Kenapa? Idan melarangmu?”
“Dia tidak tahu apa-apa.”
“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?”
Kugigit bibirku saat setetes air bergulir di pipiku.
“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”
“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.
“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku.”
“Aku tidak bisa ….”
“Kenapa tidak?”
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?
“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain.”
“Aku ….”
“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”
Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan mataku.
“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.
“Lebih keras lagi.”
“Aku tidak mencintaimu.”
“Kau berbohong.”
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”
“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia.”
Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan?
Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”
“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi … Entahlah.”
“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”
“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.
“Jadi, bicaralah dengan Idan.”
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.
Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.
“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.
“Ada apa?”
“Sst!”
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya.
Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar … mawar putih?
“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.
“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”
Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya. Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku.
Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idan membuyarkan renunganku. “Ada apa?”
Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang.”
Dahinya berkerut. “Pram?”
“Pacarku yang pergi ke Jerman.”
“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”
“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.
“Dia sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai.”
“Oh.”
Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin ia mencintaimu?”
Aku mengangguk.
“Kau yakin akan bahagia dengannya?”
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut bahagia.”
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku. “Dan?” tegurku.
“Ya?”
“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku.”
Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku. “Pit, bangun!”
“Ada apa?” gumamku. Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.
“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”
Aku terlonjak duduk. “Apa?”
“Ganti baju,” perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan.”
“Baru saja.”
“Di?”
“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”
“Idan ….”
Ia membanting pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
“Dan, aku sudah siap.”
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.
“Pit, bawa Idan pulang.”
“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”
Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang.
Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.
“Aku mau pulang, Dan,” ujarku sambil memegang tangannya.
Ia menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja.”
“Aku tidak mau sendirian di rumah.”
Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik, ”Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.”
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?
Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.
“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”
“Nanti saja. Aku tidak lapar.”
“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.
“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka ….”
“Aku tahu. Tidak apa-apa,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.”
Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
“Terima kasih.”
“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”
“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” ia tersenyum nakal.
“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.
“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri.”
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku yang mesti berterima kasih kepadamu.”
“Untuk apa?”
“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu.”
Idan tersenyum kecil. “Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih.”
“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.”
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini,” katanya.
“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah.”
“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik lebih serius.
Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhirnya. “Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama.”
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.
“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.
“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi.”
Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat.”
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.
“Aku masih belum mengerti,” bisikku.
“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”
“Apa maksudmu kau mencintaiku?” suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”
“Kau … kau tidak pernah ….”
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”
“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa dengan caramu sendiri.”
Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.
“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.”
Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”
Lama kami berdua saling berpandangan.
“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.
“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini.”
“Berapa lama?”
“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”
“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.”
“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku.”
“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?”
Aku menghela napas panjang. “Entahlah, Pram,” bisikku.
“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.
“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita.”
“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”
“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”
“Tapi kau tidak bahagia!”
“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia.”
“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini.”
“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”
“Ita, kau tidak mencintainya!”
“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”
“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?”
“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”
“Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”
“Idan mengajariku tentang cinta.”
“Hanya karena itu?”
“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”
“Ita ….”
“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi.”
Telepon kututup sebelum air mataku luruh.
“Upit.”
Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.
“Aku tak bisa melihatmu begini,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?”
Aku mengangguk.
“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.”
Aku mengangguk.
“Kau akan menyesal.”
Aku mengangguk.
“Kau akan sedih, kecewa ….”
Aku mengangguk.
“Kau tidak mencintaiku.”
Aku menggeleng.
Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan.
“Idan!”
TAMAT

CERPEN UNTUK MAHASISWA UNIKAL 4B

LEWAT SECANGKIR KOPI
(Dwi Retno Handayani_2009)


“Menikahlah denganku, kalau begitu!
Kenyataannya memang aneh, namun begitulah yang ia ucapkan padaku enam bulan yang lalu di depan kasir kedai kopi milikku.
Ia telah menjadi langganan kami selama beberapa bulan ini. Aku sendiri belum pernah sekali pun ngobrol dengannya, kecuali kalau ia sedang memesan kopi atau makanan kecil. Itu pun hanya sebatas mau pesan apa, harga keseluruhan dan ucapan pemanis, seperti, Silakan menikmati. Semua itu kupikir tidak akan menjadi alasan utama kenapa ia ingin menikahiku.
Setiap kali ia datang dan menikmati kopi panasnya (ia tidak pernah pesan kopi dingin atau es kopi), ia selalu duduk di sudut ruangan. Ia duduk di bangku yang menghadap ke jalan raya dan dengan mata menerawang. Tidak jelas apa yang biasanya ia lihat, namun pikirannya seperti melayang entah ke mana.
Aku kaget saat ia mengatakan lamaran itu. Baru kusadari suaranya agak berat dan lembut. Warna matanya yang tampak muda kecokelatan menatap warna hitam mataku. Ya, aku memang terkecoh pada wajah dan suaranya.
Ada satu hal pasti, yang paling membuatku ingin secepat mungkin mengiyakan permintaan itu adalah karena minggu lalu pernikahanku dengan pria lain batal. Pernikahan yang sudah kurencanakan dengan baik ternyata gagal total. Calon suamiku meninggalkanku tepat sebelum acara janji pernikahan dimulai. Tidak ada tanda-tanda apa pun sebelumnya, kecuali ungkapan bodoh seperti ‘aku mencintaimu’ setiap hari, dan intensitasnya lebih sering sebelum hari pernikahan kami sepakati.
Akbar pria mapan yang tampan. Tapi, caranya meninggalkanku secara mendadak di hari pernikahan, rasanya tidak menjamin sedikit pun bahwa hatinya seindah wajahnya.
Aku gemetaran, ketika salah satu panitia pernikahan memberitahukan hal itu. Ia sibuk menelepon Akbar dan kerabat mereka, sementara aku panik tak keruan. Saudara-saudaraku sibuk mencari Akbar dan menjemputnya di rumahnya yang ternyata sudah kosong. Aku hanya bisa menangis hebat di atas ranjang yang harusnya menjadi saksi malam pertama kami.
Akbar menghancurkan mimpi-mimpiku tentang indahnya hidup pernikahan, tentang kebahagiaan. Ia menghancurkan seluruh harapan hidupku, menghancurkan janji yang telah kami buat, menghancurkan cinta yang telah kami bangun mulai dari nol. Ia membuatku merasa sangat malu dan dipermainkan.
Ia benar-benar menyebalkan. Benar-benar kejam.
Aku tidak bisa tidur nyenyak setelah peristiwa itu. Aku sangat malu pada teman–temanku, lingkungan sekitar, dan tentu saja keluargaku. Umurku tidak muda lagi. Bukanlah hal yang mudah untuk membuka lagi lembaran baru yang di dalamnya sudah terkoyak penuh tinta hitam yang menyebar hingga ke halaman–halaman berikutnya.
Aku sudah tidak tahu lagi apa yang kuinginkan dalam hidup, kecuali menjalankan bisnis kedai kopiku. Kubuang jauh–jauh pikiranku tentang berumah tangga dan lain–lainnya untuk menenangkan jiwaku. Tapi, entah kenapa, pria yang tidak kukenal itu, datang tiba-tiba ke dalam hidupku, menawarkan hal yang ingin kuhindari. Betapa bodohnya aku menyadari bahwa sebenarnya aku sangat menginginkannya. Tanpa berpikir panjang atau takut bahwa orang itu hanya mengada–ada, aku mengatakan ‘ya’.
Pernikahanku dan Shota sangat berbeda dari pernikahan pada umumnya. Aku baru tahu bahwa Shota adalah warga keturunan Indonesia-Jepang saat kulihat paspornya. Bahasa Indonesia-nya memang amat bagus, tapi tidak pernah kusangka ia punya darah Indonesia. Aku pikir ia hanya pria asing yang menetap di Jakarta dan menyuruhku menikah dengannya untuk keperluan pekerjaannya. Menikah demi sebuah green card.
Hatiku sudah keburu mati oleh cinta. Jadi tidak pernah terpikirkan bahwa aku mungkin saja sedang dimanfaatkan. Aku sudah tidak peduli. Aku hanya mementingkan status. Tidak peduli nantinya aku akan dipermainkan atau dibuang, yang penting secara sah aku pernah dinikahi oleh seseorang. Aku masih bisa menikah lagi dengan orang lain, walaupun pernah ditinggal pergi oleh calon pendamping hidupku.
Di Jakarta, apalagi di kota besar seperti ini, kenyataan bahwa wanita bisa lebih sukses daripada pria bukanlah hal aneh. Namun, di usiaku yang sudah 30-an dan masih melajang, pasti mudah jadi bahan omongan. Selama aku mendapatkan statusku dan membuat seluruh orang yang mencibirku diam, maka tenanglah hidupku. Cukup jelas alasanku. Tapi, Shota, sampai hari ini, tidak pernah membicarakan alasan lamaran mendadaknya itu padaku.
Ia bekerja di salah satu kantor yang letaknya dekat dengan kedai kopiku, suatu perusahaan Jepang. Ia libur setiap Sabtu dan Minggu. Kadang–kadang ia menghabiskan hari liburnya itu hanya di depan meja kerjanya, menggambar sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Terkadang ia pergi dan pulang membawa banyak buku. Kadang–kadang ia pulang dan membawa banyak kertas berisi esai yang harus dikoreksi. Aku tidak mengerti mengapa ia terkadang bekerja di kantor, menggambar seperti seorang arsitek, tapi juga mengoreksi esai seperti seorang guru.
Ia sangat sibuk, sampai kadang lupa makan atau berbicara denganku. Dulu, sebelum kami menjadi sepasang suami-istri yang aneh ini, ia tinggal di kawasan selatan Jakarta, di sebuah apartemen. Setelah menjadi suamiku, ia pindah ke kedai kopiku. Ia membayar seluruh sewa dan membeli bangunan yang telah kusewa ini. Ia bilang bahwa ia juga punya hak untuk membayarnya, karena ia akan tinggal bersamaku.
Kami menyepakati persetujuan tersebut dan membagi kamar. Kamarku berada di lantai dua sebelah kiri, sementara kamar Shota berada di depan kamarku. Sebenarnya ada tiga kamar di tempat yang kusebut ‘rumah’ ini, kalau–kalau salah satu dari anggota rumah kami datang menginap. Aku dan Shota akan pura–pura menjadi sepasang suami-istri normal dan kami tidur di kamar yang sama.
Teorinya memang begitu. Namun, setiap kali suara pintu telah tertutup dan aku mengunci pintu kamar, Shota segera beranjak dari kasur tanpa perlu kusuruh. Ia pindah ke sofa malas dekat jendela dan tidur di tempat itu seperti sedang tidur di kasur kesayangannya saja. Ia kelihatan menikmatinya. Ia kelihatan sangat menikmati setiap hari–hari aneh kami yang kami jalani bersama. Ia tidak begitu menyukai keluarganya dan kadang–kadang ia sering menunjukkan sikap tidak sukanya, setiap kali mereka bertamu di rumah kami.
Aku jadi mulai berpikir, mungkin alasan Shota menikahiku karena hal ini. Ia menginginkan ketenangan, sementara aku sangat menginginkan status yang membuatku tenang dari segala ocehan dan rasa pedih tentang impian pernikahanku yang sesungguhnya. Shota terkadang sering membantuku, walau aku tahu dari setiap pandangan matanya itu, ia merasa seperti tidak hidup di dunia ini.
Karena pagi ini Shota berangkat lebih awal, aku bangun pagi–pagi sekali. Aku ingin membuatkan bekal untuknya, karena ia jarang sekali ingat bahwa ia butuh makan. Aku menyetel alarm ponselku, agar bisa bangun sebelum Shota bangun.
Jujur saja, aku suka Shota, secara umum. Ia orang yang tidak banyak bicara, tidak banyak mengeluh. Ia akan memakan segala makanan yang kubuat (jika aku membuatnya) atau ia akan mendengarkan apa pun yang ingin kuutarakan dan biasanya yang berhubungan dengan rumah kami ini. Karena kami sama–sama tinggal di satu rumah dengan tujuan yang sama, yaitu mendapatkan ketenangan, maka sebisa mungkin kami saling membantu.
Ia menghargai setiap makanan yang kubuatkan untuknya. Ia meminum kopi yang kubuat untuknya. Aneh bahwa ia tidak menyukai teh, sungguh aneh... apalagi ia berasal dari campuran dua negara yang punya tradisi sangat kental tentang teh. Aku belum pernah menanyakan hal itu padanya. Melihat bahwa ia tidak banyak bertanya padaku, maka aku pun tidak mau menginterogasi.
Ia juga sering sekali memakai kaus atau kemeja berlengan panjang, yang sangat tidak kumengerti. Ketika pergi bekerja, ketika duduk di kursi dekat jendela hanya untuk bersantai, ketika malam tiba, bahkan ketika cuaca di luar sangat panas, ia tidak pernah sekali pun menggunakan lengan pendek ataupun baju tanpa lengan. Aku penasaran ingin bertanya, namun lagi–lagi mengingat bahwa ia tidak banyak berkomentar tentangku, maka aku mengurungkan niat tersebut.
“Aku pergi dulu kalau begitu,” Shota berbicara pelan, namun matanya tertuju pada tas hitam dan map biru yang akan ia bawa.
Aku menunggunya menatapku, sebelum memberikan bekal tersebut padanya. Rasanya ia tidak menyadari kehadiranku sampai ia melihat bungkusan bekal berwarna biru tua yang kupegang. Matanya menatap bungkusan itu dan kemudian menatapku. “Itu apa?” tanyanya, bingung.
“Bekal,” jawabku singkat.
“Untukku?” tanyanya lagi. Kali ini aku cuma mengangguk.
Ia yang tadinya sudah berada pada anak tangga pertama sebelum turun, akhirnya kembali lagi mendekatiku dan mengambil bekal tersebut dari tanganku. “Terima kasih,” ucapnya begitu cepat dan singkat.
Kemudian, suara langkah dari anak tangga menuju lantai pertama pun terdengar. Suara pintu yang tertutup juga terdengar beberapa detik kemudian. Aku mengintip dari jendela atas dan melihatnya keluar rumah menuju mobil SUV-nya. Desingan mobilnya terdengar dari atas dan perlahan menghilang dari tangkapan telingaku. Ia sudah pergi.
“Mbak Ayu! Mbak Ayuuu!” Edo datang setelah mobil Shota menghilang. Ia membuka helm dan nyengir seperti orang bodoh menyapaku. Edo sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, apalagi karena ia masih terlalu muda. Umurnya baru 20 tahun dan ia telah bekerja di kedaiku sejak setahun yang lalu. Ia mengetuk–ketuk pintu kaca kedaiku kencang sekali, seperti hampir mau pecah.
“Sabar, dong, Do! Lagian juga nggak dikunci, kok!”
Edo segera masuk sambil membawa satu tas berisi buku–buku besar.
“Kamu dan Shota, kok, hobi banget bawa banyak buku, sih, Do? Mau ngapain memangnya? Tidak berat?”
“Ini Mbak... Shota-san bilang, katanya kedainya mau ditambahin pakai perpustakaan,” ucap Edo kemudian.
Shota-san... Shota-san... entah kenapa Edo lebih suka memanggil Shota dengan akhiran –san dibanding awalan ’Kak’ atau apalah. Pernah sekali aku tanya, katanya karena wajahnya yang imut itu bikin Shota tidak cocok dipanggil Kakak.
“Dia, kok, tidak bilang aku, ya?”
“Memangnya Mbak Ayu nggak tahu, ya?”
“Nggak.”
“Duuuh... jadi nggak enak nih aku. Mungkin Shota-san mau buat kejutan untuk Mbak Ayu. Makanya, dia tidak ngomong apa–apa,” Edo buru–buru membenarkan penjelasannya dan meluruskan pikiranku yang mulai menceng.
“Mungkin...,“ tanpa pikir panjang aku cuma mengatakan ‘mungkin’ pada Edo. Memang mungkin saja. Mungkin saja ia tidak mau memberi tahuku... mungkin saja ia tidak perlu memberi tahuku, karena, toh, bangunan ini sudah dibeli dengan uangnya. Mungkin juga aku tidak perlu tahu. Banyak sekali kemungkinan dan aku kelewat memikirkan hal tersebut. Aku dan Shota, toh, cuma teman satu rumah. Jadi, kenapa aku harus merasa terganggu kalau dia juga mau melakukan sesuatu untuk rumahnya ini?
“Yuk, kita beres–beres!” kututup pikiran anehku dengan pekerjaan. Aku pun meninggalkan Edo di meja depan untuk pergi ke dapur dan menyiapkan kedai untuk dibuka.
Shota pulang tepat sebelum Magrib. Aku membuat kopi panas. Ia selalu suka kopi yang masih panas. Jika sudah mulai mendingin, tak akan ia sentuh. Karena itulah, aku selalu membuatkan kopi setiap kali desingan suara mesin mobilnya terdengar.
Kebiasaan ini sudah kuketahui sejak ia menjadi pelanggan setia di kedaiku. Ia biasanya memesan kopi yang panas dan saat kuantar kopi tersebut ke mejanya, ia selalu langsung meminumnya tanpa harus membuka koran atau laptop-nya dan menunggu kopinya mendingin. Ia memang berbeda.
Langkah Shota terdengar makin dekat menuju lantai dua. Edo dan beberapa karyawan kedai berada di bawah untuk melayani para pelanggan. Pada jam–jam Shota pulang, aku selalu menyempatkan diri untuk berada di rumah kami, lantai dua, untuk memberikan senyuman pada pandangannya yang tetap tak berubah: seperti tak hidup di dunia ini.
Cangkir kopi merah maroon favoritnya selalu kuletakkan di depan meja teve. Setiap kali ia beranjak ke atas, wajah yang selalu ia lihat adalah wajahku. Memang begini kenyataannya, karena kami punya tujuan yang sama dalam menikah, maka kami pun setidaknya harus bisa saling berteman dengan baik.
“Maaf, terlambat,” Shota sedikit menundukkan kepalanya dan menatapku, kemudian menatap cangkir kopi.
Kadang–kadang ia segera masuk kamar hanya untuk mengganti pakaiannya dan kembali lagi ke ruang teve dengan kaus lengan panjang dan celana pendeknya. Tapi, kali ini ia langsung duduk sambil mencari remote.
“Tidak mandi dulu?” aku mendekatinya, masih memakai celemek berwarna hijau merah khas kedaiku.
Shota melirik sebentar, kemudian kembali lagi menatap teve. Aku lalu beranjak dari sofa menuju tangga. Bukanlah hal yang bagus sebenarnya, kalau mengajak Shota berbicara. Rasanya ia sudah pendiam dari sono-nya, jadi aku tidak perlu lagi merasa sakit hati, setiap kali pertanyaanku tidak ia jawab.
“Mau ke mana?” tiba–tiba Shota bertanya ketika aku telah turun satu tangga menuju kedai.
“Bantu Edo.”
“Oke,“ ucap Shota lagi. Kali ini tangan kanannya sedang memegang cangkir kopi.
“Sudah makan belum?” tanyaku akhirnya, mengetahui bahwa ia punya selera makan yang kurang begitu bagus.
“Nanti aku turun setelah mandi.”
“Oke!” Aku kembali melangkahkan kakiku ke tangga berikutnya. Namun, di tangga ketiga, Shota meneriaki namaku. Kontan aku diam dan segera menoleh ke arahnya, “Kenapa?”
“Bento-mu tadi pagi... eh... hmm... enak!” ucapnya, ragu–ragu. Suaranya berubah sangat pelan, mungkin ia malu pada kata–kata yang ia lontarkan. Aku hanya tersenyum membalasnya dan kembali turun ke kedai. Tidak yakin apa yang sedang kurasakan, namun aku ingin tersenyum lebar.
“Mbak? Mbak?” aku seperti mendengar suara Edo di telingaku. Aku belum menyadari apa pun, sampai Edo mencoba menepukku ringan dengan nampan.
Cepat–cepat kuambil nampan tersebut dari tangannya dan kulemparkan pukulan ringan ke punggungnya. Edo berteriak meledekku, sementara aku kesal karena dia menggodaku.
“Do, aku kan sedang serius konsentrasi. Kok, kamu gangguin.”
“Konsentrasi apa, sih, Mbak?” ledek Edo.
Anak ini sering betul membuatku tersipu malu atau kadang–kadang bertingkah aneh. Mungkin karena aku memang tidak punya saudara di rumah, berhubung aku anak tunggal, keberadaan Edo sangat membuat hatiku kembali muda. Kekonyolannya dan hal–hal bodoh yang ia lakukan sejujurnya membuatku senang.
“Kamu sudah makan?” Aku menoleh ke arah Edo. Kali ini ia sedang membuatkan secangkir ice cappuccino dengan sepiring kecil croissant. Edo mengangguk ke arahku. Aku bermaksud mengajak Edo bergabung untuk makan bersama dengan Shota, jika ia belum makan. Tapi, karena Edo sudah makan, aku segera meninggalkannya menuju satu ruangan paling spesial yang Shota dan aku pakai sebagai ruang makan kami.
Aku berjalan melewati lorong di belakang kedai ke satu ruangan yang di belakangnya ditumbuhi tanaman–tanaman hijau dan beberapa bunga berwarna mencolok. Pintu ruangan tersebut langsung menuju halaman belakang. Sebenarnya ruangan ini baru dibuat Shota seminggu setelah kami menikah, enam bulan yang lalu. Ia menginginkan suasana yang sedikit bergaya Jepang kemudian membuat tatami kecil dengan bantalan duduk, meja persegi yang lebar dan berkaki pendek. Pemandangan halaman belakang yang asri serasa menyapa kami di sebelah kanan ruangan yang dibuka.
Shota sudah duduk di bantalan tersebut. Pandangannya tertuju pada kebun belakang. Begitu mendengar aku masuk, pandangannya teralihkan. Rambut hitam Shota yang panjang tapi tidak gondrong itu terlihat basah. Ia wangi sekali. Ia selalu begitu.
“Maaf, ya, kedai sedang ramai,” aku membuka percakapan. Lalu, kuletakkan lauk-pauk yang aku hangatkan beberapa menit yang lalu dengan semangkuk sayur bayam kesukaannya.
“Kau tidak perlu seperti itu setiap hari,” ucap Shota tiba–tiba.
Aku tidak mengerti perkataannya.
“Kau tidak harus melayaniku setiap hari, Yu. Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Kau kan tinggal bersamaku di sini. Aku nggak bisa mengabaikanmu begitu saja,” jawabku apa adanya.
“Aku tidak mau merepotkan.”
“Tidak ada yang direpotkan. Aku biasa melakukan ini, kok. Bahkan, jauh sebelum kau datang, aku memang kebagian jadi seksi masak-memasak di acara kumpul–kumpul,” aku berusaha menghilangkan kekakuan dengan melucu. Jelas sekali aku kehilangan bakat humorku belakangan ini. Shota tidak tertawa sama sekali.
Sejak kejadian menyakitkan itu, entah kenapa, aku sering menarik diri dari teman–temanku. Dan kalau bisa, menjauhkan diri dari banyak orang yang mengenalku, tapi tidak benar–benar mengenalku. Mungkin kejadian menyakitkan itu bisa dengan mudah kulupakan, namun sakit hati dan malu yang kurasakan tidak juga hilang. Hingga saat ini. Bahkan, ketika Shota duduk di sampingku dan mengucapkan janji pernikahan. Aku tetap tidak bisa melupakan rasa sakit ini.
Harusnya aku sudah menikmati keluarga yang bahagia, jika Akbar memang benar–benar ingin menikahiku. Harusnya aku sudah mendambakan seorang anak darinya, jika ia memang telah menjadi suamiku. Entah kenapa, aku begitu memercayai semua hal yang pernah ia katakan. Aku sangat mencintainya... dulu.
“Aku tidak suka melihatmu melamun!” suara Shota terdengar, bagai tanda bagiku untuk kembali ke dunia nyata.
“Aku tidak melamun,” tangkisku.
Kami berdua pun akhirnya diam dan menikmati makan malam kami penuh keheningan. Setelah selesai makan, Shota beranjak dari tatami dan berjalan ke luar ruangan. Aku membereskan piring–piring kotor dalam diam. Udara terasa sangat dingin bagiku, walau keadaan yang sesungguhnya sangatlah berbeda.
Namun, tiba-tiba ada kehangatan kurasakan menjalar di pergelangan tanganku. Ketika aku menoleh, Shota telah memegang tanganku. Ia menatapku, tapi aku tidak pernah merasakan tatapannya hadir di dalam hatiku. Aku sangat terkejut pada sikap Shota yang seperti itu. Aku pikir ia telah beranjak dari ruangan ini.
“Jangan pikirkan dia lagi...,” akhirnya ia berbicara, pelan.
Aku hanya bisa mengangguk. Diam-diam, ada ketenangan mengalir di dadaku.
Shota sebenarnya sama seperti kebanyakan pria pada umumnya. Ia bekerja pagi–pagi dan pulang di sore hari. Ia mengendarai SUV yang sama seperti hampir kebanyakan pria di sini. Hobinya membaca buku dan buku. Aku belum pernah melihatnya diam tanpa buku di sampingnya.
Ia pendiam, sangat pendiam. Beberapa minggu sejak kami menikah, Shota jarang sekali berbicara denganku. Jika berbicara, ia hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata singkat seperti ‘terima kasih’, ‘aku pergi’.
Sebenarnya, aku merasa sangat berterima kasih pada Shota karena mau menikahiku, meski saat itu kami belum saling mengenal. Aku pun tidak tahu siapa namanya, dulu. Yang aku tahu, di sore itu, ia datang kepadaku dan mengajakku menikah. Karena ia pendiam dan tidak banyak bicara, aku merasa sangat aman, tidak tahu kenapa.
Suatu ketika, beberapa minggu setelah pernikahan kami, aku duduk diam di lantai satu, tempat kedai kopiku. Saat itu aku baru saja tutup dan kumatikan seluruh lampu kedai. Hatiku sangat kacau, karena baru saja melihat Akbar melewati kedaiku dan sedang bersama wanita lain. Aku kalut. Shota berada di lantai dua. Suatu nilai plus bahwa ia tidak melihatku yang sedang kacau. Ketika semua gorden sudah tertutup dan semua lampu kedai dimatikan, aku menangis. Aku menangis sekencang–kencangnya melihat pemandangan tersebut.
Mungkin tangisku terlalu kencang, karena Shota tiba–tiba berdiri di hadapanku yang sedang penuh air mata. Ia tidak banyak bicara, hanya memberikan tisu kepadaku. Ia menemaniku menangis sampai pagi tiba. Ia tidak tidur, tidak juga memelukku. Ia hanya diam dan menemaniku. Di pagi itulah akhirnya aku menceritakan padanya seluruh rentetan menyakitkan yang kualami karena pria bernama Akbar.
Edo pergi kuliah pagi ini, jadi ia baru akan datang ke kedai setelah makan siang. Hari ini kedai tidak terlalu ramai, makanya aku bisa sedikit santai dan mulai membuka laptop-ku. Sudah lama aku tidak membuka komunitas sosialku di dunia maya.
Salah satu temanku men-tag salah satu acara kebudayaan. Ia mengundang datang sambil membawa suamiku. Sepertinya tawaran yang bagus, lagi pula sudah lama aku tidak bersenang–senang di luar rumah. Aku segera menuliskan komentar: ‘aku akan datang’.
“Bagaimana?”
“Apanya?”
“Apakah kita akan ikut?”
Aku mengikuti Shota menaiki tangga menuju lantai dua, ketika ia tiba dari kantor. Aku tahu ia mulai risi aku ikuti terus sejak turun dari mobil. Ia duduk di sofa maroon kesayangan kami dan minum secangkir kopi panasnya.
“Aku juga punya undangannya.” Shota menoleh ke arahku.
“Hah? Apa?”
“Sebenarnya aku sudah punya undangannya sejak beberapa hari yang lalu. Aku bingung mau datang atau tidak. Masalahnya aku tidak terlalu menyukai keramaian... tapi aku diharuskan datang. Beberapa teman kerjaku menjadi panitianya.”
“Lalu?” tanyaku lagi.
“Tadinya aku ingin mengajakmu,” ia menjawab. Saking senangnya, aku meremas pergelangan tangannya dan tertawa gembira!
“Ooh, demi Tuhan, Shotaaaa! Aku senang sekali!”
Aku lalu memeluknya penuh cita. Ia tidak banyak berbicara, hanya tersenyum. Mungkin aku terlalu kencang memeluknya, karena rasanya ia berteriak padaku bahwa ia tidak bisa bernapas.
Mataku terpaku ke arah kotak persegi di atas tempat tidurku. Kotak persegi dengan warna krem itu berisi kimono yang diberikan ibu Shota sebagai kado pernikahanku. Kimono itu berwarna merah keemasan dengan corak bunga–bunga yang indah yang mengelilingi sisinya. Sudah sejam lamanya aku berdiri hanya untuk memastikan apakah aku akan memakai pakaian tersebut atau tidak. Tapi, jika aku memakainya, ini akan menjadi momen yang pas, karena kami berdua akan pergi ke acara hinamatsuri, festival boneka Jepang.
Aku belum pernah memakai kimono. Terus terang, aku tidak tahu bagaimana caranya. Namun, masa bodoh dengan cara memakai, toh, aku pernah lihat beberapa film Jepang yang memakainya dan sepertinya mereka tinggal memakai baju tersebut dan mengikatnya dengan tali lebar. Tadinya aku memang berpikiran begitu. Pada kenyataannya, setelah aku memutar otakku untuk memakainya, hasilnya tidak pernah secantik yang kulihat di film-film. Aku kesal sekali, apalagi pakaian tersebut membuatku kepanasan.
Shota mengetuk pintu kamarku, karena waktu pergi kami terlambat satu jam akibat kimono ini. Aku berteriak padanya agar bisa sedikit lagi menungguku. Ia tidak menjawab, tapi dari bunyi siaran teve di ruang keluarga, itu artinya ia setuju. Aku kembali lagi mengusahakan kimono ini tampil cantik di tubuhku. Kulilitkan ikatan lebar tersebut di pinggangku, dan hasilnya lumayan, walaupun tidak sesempurna wanita Jepang.
Aku keluar dari kamar. Pandangan Shota masih tertuju pada layar kaca, walaupun aku telah mondar-mandir di depannya, mencari sepatu yang pas untuk padanannya. Shota akhirnya mematikan siaran teve dan menuju kulkas. Ia menuangkan jus jeruk di gelas, kemudian meminumnya. Aku sibuk mencari sandal yang kuletakkan di atas lemari bajuku.
Tahu–tahu Shota sudah di sampingku. Ia mengangkat tangannya, kemudian menurunkan kotak sandal, memberikannya padaku. Aku berterima kasih padanya dan segera mengajak Shota berangkat. Aku berjalan menyusuri anak tangga perlahan–lahan (tahu bahwa memakai kimono benar–benar menyebalkan, aku tidak akan memakainya) dan Shota mengikutiku di belakang. Ketika di anak tangga terakhir, langkahku terhentikan oleh sesuatu. Aku pikir kimonoku tersangkut sesuatu, tapi ternyata tangan Shota yang menarik kimonoku.
“Ada apa?” tanyaku, bingung.
“Bisa pakai kimono?” pertanyaan Shota yang singkat itu jelas membuatku kesal. Aku tahu aku belum pernah memakai kimono sebelumnya. Mana aku tahu juga bahwa kimono setebal itu!
“Mau meledekku, ya?” tanyaku, kali ini dengan ketus.
Ia tidak menjawab, tidak sedikit pun menjawab pertanyaanku dan tidak juga memberikan gesture bahwa ia memang menjawab pertanyaanku. Yang ia lakukan malah menarik tali kimonoku, hingga ikatannya terlepas begitu saja dari tubuhku. Aku terkejut! Bisa–bisanya dia melakukan hal itu padaku! Aku pun sedikit ketakutan. Kami belum melakukan apa–apa selama enam bulan ini.
“Diam saja!” tiba–tiba Shota berbicara. Ia mengambil ikatan lebar yang jatuh di lantai dan menyuruhku diam. Kemudian ia mendekatiku, merapikan kain kimonoku dengan sangat hati–hati. Ia terlihat sangat cekatan dan terampil. Terkadang ia menyuruhku berputar kadang mendongak. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya, namun rasanya ia begitu berkonsentrasi.
Setelah kain kimonoku selesai dirapikan, ia mengikatkan tali yang panjang dan lebar itu ke pinggangku. Ia melilitkannya perlahan dan kencang, mirip seperti melilitkan korset Jawa setiap mengenakan kebaya. Ia menyisakan pinggiran ikatannya dan membiarkan tangannya melakukan sesuatu pada ikatan kimonoku. Aku tidak yakin apakah ini akan berhasil, sampai kulihat dengan mata kepalaku sendiri saat ia menyuruhku bercermin.
Entah kenapa, kimono berwarna merah pemberian ibunya jadi tampak sangat indah kukenakan. Saat aku memutar ke belakang dan melihat ikatannya, aku juga tidak mengerti kenapa ikatan berwarna keemasan itu jadi tampak sangat manis dan menawan. Ada bentuk pita besar yang bersanggah dengan eloknya di pinggang belakangku. Aku tersenyum puas melihat mahakarya yang dilakukannya. Aku pun tidak sanggup mengucapkan terima kasih padanya. Seluruh mulutku seperti terkunci dan terpana oleh caranya memakaikan kimono tersebut padaku.
”Ayo, kita berangkat!” Shota memecah kebodohanku. Ia menarik tanganku, memegangnya, dan membawaku turun dengan terburu–buru. Kali ini aku tidak bisa lagi berbicara. Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya, namun hati ini... tanpa kuketahui berdetak begitu kencang.
Ia mengendarai mobil dalam kesunyian.
Ia mengendarai mobil dalam kesunyian. Tidak ada salah satu di antara kami yang mencoba untuk berbicara atau setidaknya memecah keheningan ini. Tidak ada musik, tidak ada percakapan bodoh, tidak ada suara berisik radio. Hanya ada aku dan dia. Ketika kami sampai pun tidak ada salah satu dari kami yang berbicara. Ia menunduk mengunci mobilnya dan membawaku menuju lapangan festival, lagi–lagi memegang tanganku.
Aku menurut mengikuti Shota pergi membawaku menuju lapangan festival. Ada rentetan lampion kecil yang panjang dari berbagai sisi lapangan dengan warna merah, putih, dan keemasan. Aku suka pemandangan suasana ini, ketika matahari yang bersinar segera ingin menutup matanya untuk beristirahat dan bangun di keesokan hari.
Shota pun kelihatan menikmatinya. Wajahnya terlihat tidak pucat seperti biasanya. Matanya yang cokelat muda itu terlihat indah, berbeda dari pandangannya yang entah berada di mana selama ini. Baru aku sadari ia sangat tampan. Untuk ukuran pria berwajah oriental, ia tampak memukau di antara pria-pria lainnya.
Selama ini aku terlalu memikirkan diri sendiri, memikirkan bagaimana perasaanku dan yang lainnya, namun aku sama sekali tidak melihat ke arahnya. Shota menoleh ke arahku, waktu mengetahui aku memperhatikannya. Kacamata berbingkai hitamnya terlihat sedikit turun hingga ke ujung batang hidungnya yang mancung. Ada sedikit kerutan di dahinya, namun kerutan itu tidak sedikit pun menghapus ketampanannya. Aku baru memperhatikan keseluruhan wajahnya, alis matanya yang terbentuk indah, bibirnya yang merah bagaikan buah cherry, dan warna hitam rambutnya yang tertata membentuk layer ke atas pundaknya. Tipikal pria oriental, lagi–lagi aku menilai.
“Berapa umurmu?” tidak terpikir olehku bahwa aku akan menanyakan pertanyaan semacam itu. Aku segera menundukkan wajahku, begitu mengetahui pertanyaanku benar–benar bodoh.
Shota tidak sedikit pun melepaskan pegangan tangannya. Ia malah sedikit meremas pergelangan tanganku dan kemudian menarikku menuju stan makanan.
“Pernah makan takoyaki?” lempar Shota ringan. Hari ini ia lebih banyak berbicara. Aku menandai yang satu itu.
“Belum pernah!” ucapku jujur. Selama ini aku memang belum pernah datang ke acara festival seperti ini. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang, kecuali bahwa negara ini pernah menjajah negaraku. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang kecuali sushi, itu saja.
“Kalau begitu tunggu di sini!”
Cepat–cepat Shota menghilang dari sampingku, melepaskan genggaman tangannya dan bergabung dengan kerumunan di depan sana. Ia tidak merasa letih untuk mengantre, walaupun panjang sekali. Aku menunggu Shota, menunggunya memegang tanganku lagi. Beberapa menit kemudian, ketika sampai di menit ke-15, ia datang membawa dua kotak berisi makanan berbentuk bundar seperti bakso. Hanya, warnanya kelihatan merah kecokelatan dan di atasnya diolesi mayones.
Tahu–tahu saja ia menggunakan sumpitnya untuk mengambil satu bola takoyaki itu. Ia menadahkan tangan kirinya di bawah bola itu agar saus takoyaki-nya tidak jatuh ke pakaian kami dan ia menjulurkan bola tersebut ke arahku, ke arah mulutku.
Aku terkejut melihat sikap Shota yang tiba–tiba sangat manis kepadaku, meskipun wajahnya masih tetap belum mau tersenyum. Pelan–pelan kubuka mulutku hingga bola tersebut masuk. Shota menatapku kemudian mengatakan sesuatu yang rasanya terdengar seperti mengajakku memasak atau apalah. Karena pikiranku tertuju dengan hal lain, maka aku meminta Shota mengulang kata–katanya.
“Nanti kita buat yang seperti ini di rumah, ya?”
Demi Tuhan! Benarkah ini Shota? Shota yang tinggal selama enam bulan bersamaku dan tidak suka banyak bicara? Juga tidak menyukai keramaian? Benarkah ini Shota yang secara tertulis merupakan suamiku? Aku hampir tidak percaya Shota bisa berubah seperti itu. Kenapa ia malah membuatku jadi salah tingkah dan tidak keruan begini?
Shota kelihatannya tidak melihat keanehanku karena ternyata ia sudah beranjak dan berjalan menuju kerumunan kedai es serut. Buru–buru aku mengejarnya, tapi Shota sudah menghilang di balik kerumunan. Aku menghentikan langkahku sambil menghela napas. Aku tidak mengenalnya... aku tidak mengenal pria ini... Shota tampak di luar pengetahuanku.
“Untukmu!” Tiba–tiba Shota datang dengan membawa 2 mangkuk kecil berisi es serut berwana merah dan hijau. Ia memberikan yang merah kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. Tangan yang hangat itu kembali menyentuh tanganku. Aku berusaha meredam rasa gemetar yang timbul di dadaku. Mata Shota tidak sedikit pun menoleh ke arahku.
Aku merasakan tangannya basah berkeringat. Mungkin kami berdua merasakan getaran yang tidak semestinya, walaupun kami malu mengakuinya.
Aku membiarkan tangan Shota menggenggam tanganku, membawaku pergi ke mana pun menuju tempat yang ia inginkan, menuju berbagai cahaya pelangi yang mulai menyala seiring hari yang makin gelap. Ia menarikku menuju warna terang kembang api di angkasa malam dan membiarkan kehangatan ini tetap terjaga.
Mengingat bahwa tadi malam aku seperti sedang mendapatkan mimpi indah, maka aku bangun sangat telat keesokan paginya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, saat kulihat jam weker. Buru–buru aku turun ke lantai bawah dan mempersiapkan kedaiku. Aku berdiri tepat di atas anak tangga terakhir waktu kulihat kedaiku sudah dibuka. Aku melihat sepintas, Edo sedang melayani para tamu, para pekerja yang lain sedang membereskan pesanan, dan Shota sedang melayani para tamu. Hah? Tidak salah?
“Tuan putri sudah bangun!” tahu–tahu Edo berseru. Hampir dari beberapa tamu tertawa melihatku. Shota menoleh ke arahku kemudian menyunggingkan tawa kecilnya padaku. Buru–buru aku melangkah ke atas dan masuk ke kamar mandi. Shota tidak kerja? Bukannya hari ini hari Senin?
“Shota-san membantu membuka kedai, Mbak! Maaf, ya, nggak nunggu Mbak Ayu dulu,” Edo takut–takut menatapku, ketika aku sudah ikut berada di bawah membantu mereka.
Bukan itu yang aku permasalahkan, sungguh! Aku hanya bingung kenapa Shota hari ini tidak bekerja? Aku ingin bertanya padanya sejak tadi, tapi dia kelihatan sangat menikmati bekerja membantu kedaiku. Jadi, aku tidak bisa lagi bertanya apa pun. Shota beristirahat sebentar, saat tamu sudah mulai pulang.
Karena tidak banyak tamu di siang hari, aku menyusul Shota ke belakang. Ia sedang merapikan buku–buku yang kemarin ia kumpulkan bersama Edo. “Belum ada kopi untukku hari ini,” tanyanya tiba–tiba, nadanya datar. Aku jadi tersadar. Aku memang belum sempat membuatkan secangkir kopi panas untuknya. Buru–buru aku ke dapur dan menyajikan secangkir kopi untuknya. Shota segera mengambil cangkir tersebut beserta tatakannya. Ia meniup kopi itu dan menyeruputnya.
“Sebenarnya aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, tapi barangnya belum jadi. Besok saja, deh,” Shota kembali berbicara. Nadanya masih sama. Ia memang bukan orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara.
“Memangnya ada apa?” aku bertanya.
“Sesuatu, sebenarnya untukmu. Aku sengaja memesannya. Mungkin baru akan dikirim dua atau tiga hari lagi, kalau cepat. Tapi, bisa juga seminggu kalau terlambat.”
“Sesuatu apa?” aku bertanya lagi, lebih pada penasaran. Sebelumnya Shota tidak pernah memberikanku sesuatu.
“Nanti lihat saja kalau sudah datang.”
Karena ia sudah berbicara seperti itu, maka aku tidak lagi bertanya. Aku ingin beranjak dari sisi Shota, aku benar–benar ingin beranjak dan membantu Edo, tapi aku seperti tertahan untuk tetap berada di sampingnya.
“Mau buat apa?” sebisa mungkin aku berbasa–basi.
Shota menoleh ke arahku. Alis kanannya terangkat sementara kacamatanya sedikit turun. “Kenapa tanya?”
“Tidak boleh bertanya, ya?” aku tertawa.
“Bukan. Kenapa kau bertanya seolah–olah kau tidak tahu?” Shota masih memandang ke arahku. Matanya seperti menangkap basah rasa gugupku.
“Maksudmu?” aku mulai salah tingkah.
“Edo kan sudah memberi tahumu.” Ya, Tuhan! Aku benar–benar tidak suka caranya memandangku. Ia seperti ingin memakanku hidup–hidup.
“Memang kenapa kalau aku bertanya lagi padamu?”
“Lucu saja!” kali ini ia tertawa kecil. Bola matanya mulai sedikit menyipit. Aku baru menyadari bahwa ia memiliki lesung di pipi kirinya. Bulu matanya tampak lebih lebat dan tidak melengkung turun seperti pria oriental, yang pernah kutemui pada umumnya. Aku hampir saja tersihir oleh sosok pria ini.
Tamu Shota duduk di kursi favorit Shota ketika ia masih menjadi pelanggan setiaku. Ia terus melihat ke arah jendela dan memandangi jalan raya pada siang menjelang sore itu. Saat Shota menghampirinya, baru ia menoleh dan menyalami Shota. Melihat caranya memberikan salam dan mendengarnya berbicara, ia pasti orang Jepang. Shota memang beruntung mempunyai ibu yang punya darah Indonesia, sehingga ia bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, walau terhitung belum lama tinggal di Jakarta.
Tadinya aku ingin mengantarkan teh ke meja mereka. Tapi, aku memperhatikan lagi, pembicaraan mereka sangat serius. Tidak pelan tidak juga terdengar keras oleh tamu-tamu lainnya memang, namun pembicaraan mereka terlihat tidak boleh diinterupsi. Akhirnya kuurungkan niatku.
Terus terang, aku benci sekali mendengar Shota berbicara bahasa ayahnya, bahasa yang tidak sekali pun kumengerti. Ingin sekali kudatangi Shota untuk memintanya berbahasa Indonesia saja. Namun, mengingat bahwa statusku cuma teman hidup dalam arti yang sebenarnya, kuputuskan untuk diam.
Yang bisa aku harapkan hanya Shota bersedia untuk menceritakan padaku isi pembicaraan itu.
Tidak sampai setengah jam, tamu itu sudah berpamitan. Aku segera bergegas menghampiri Shota. Namun, belum sampai aku ke mejanya, Shota buru-buru melangkah ke belakang, menaiki anak tangga ke lantai atas. Aku mendengar pintu kamarnya tertutup keras. Cepat-cepat aku mengejarnya.
“Shota... Shota...!”
“Ada apa?” Shota menjawab. Nada bicaranya terdengar sedikit tak terkontrol. Aku mengetuk pintu kamarnya lagi. Shota pun menyahut dari dalam bahwa ia tidak ingin diganggu, oleh siapa pun. Aku terdiam ketika itu. Aku tidak mengerti kenapa Shota jadi bersikap aneh setelah beberapa detik yang lalu ia bersikap sangat hangat kepadaku. Aku mengalah. Kuputuskan untuk kembali turun ke kedai sambil menunggu Shota keluar
dari kamarnya.
Di depan kasir kedai, Edo menanyaiku tentang rencana kepergian Shota ke Jepang. Aku sedang melamun sehingga tak kudengar pertanyaan Edo. Dia pun harus bertanya untuk kedua kalinya. Karena aku tidak tahu sama sekali apa yang ia maksud, aku hanya bisa menggeleng.
“Ke Jepang apa?”
“Lho, memangnya Mbak Ayu nggak tahu? Memangnya tadi nggak dengar Shota-san bilang apa?” Edo bertanya padaku, sengaja memperhitungkan penguasaan bahasa Jepang-ku yang boleh dibilang nol jongkok. Aku menatap kesal ke arahnya.
“Sori, nih, bukannya nyindir, Mbak.
Tapi, Shota-san kayaknya mau pergi ke Jepang, deh!”
“Kamu tahu dari mana, Do?”
“Mbak, tadi aku dengar sendiri waktu Shota-san ngobrol sama tamunya. Si tamu bilang, dia harus segera pergi ke Jepang. Begitu...,” Edo menjelaskan padaku. Aku lupa, Edo mengambil kuliah jurusan bahasa Jepang. Sudah pasti ia mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka. Aku segera mendekati Edo dan memintanya mengingat semua hal yang ia dengar dari perbincangan Shota dan tamunya. Sayangnya, Edo cuma dengar bahwa si tamu mau ke Jepang, itu saja.
Biasanya, aku baru tutup kedai ketika malam sudah tiba. Namun, kali ini aku tutup lebih awal. Edo telah pulang dan aku menutup semua gorden jendela kedai. Kudengar langkah Shota menuruni tangga menuju dapur belakang. Aku segera menyiapkan makan malam untuknya. Shota duduk di dekat halaman belakang. Tubuhnya menyandar pada tembok dan pandangannya tertuju pada tanaman-tanaman kecil yang tertata rapi dalam berbagai macam pot berukuran kecil. Ia mengenakan celana panjang dan sweater panjang bertudung. Ia kelihatan kaku seperti biasanya.
“Aku mau kopi,” Shota berbicara pelan, tapi matanya tidak menoleh ke arahku.
Aku ke dapur untuk menyiapkan kopi untuknya. Begitu aku kembali sambil membawa kopi, kutemukan Shota telah ketiduran. Ia kelihatan sangat letih, walaupun hari ini tidak bekerja. Ia terlelap menyandar pada dinding tembok. Tangannya terlipat dan kacamatanya sedikit turun tersangkut pada batang hidungnya yang mancung. Aku mendekatinya. Tadinya aku cuma ingin membangunkannya dan menyuruhnya makan. Tapi, melihat tidurnya yang pulas itu, aku mengurungkan niatku.
Kupandangi wajahnya yang putih kepucat-pucatan. Kugerakkan tanganku perlahan menyentuh kacamatanya. Aku ingin membetulkan posisinya, tapi sulit sekali, karena itu kulepas kacamata itu dari pandangannya. Tidak kuat menahan betapa memesonanya dia, kubiarkan tanganku lancang menyentuh kulitnya, menyentuh wajahnya, menyentuh setiap bagian kecil dari hidupnya. Aku pun ingin menyentuh hatinya.
Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan, apa yang sedang Shota rasakan. Kami seperti terjebak dalam satu situasi yang sama. Kami telah hidup bersama, membawa masalah hidup kami masing-masing. Aku tidak pernah tahu apa yang pernah dialami oleh Shota. Namun, melihat pandangan matanya yang terlihat tidak hidup, aku mengerti bahwa persoalannya jauh lebih sulit dari yang kupunya. Tapi, Shota berbeda dari laki-laki yang pernah kukenal. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa setiap kali duduk di sisinya, mendengarnya berbicara dengan nada yang kaku. Aku merasa sangat aman berada di sisinya.
Kusentuh kembali wajahnya yang kelihatan lelah. Kupandangi berulang kali sesosok dirinya di hadapanku. Aku tidak yakin, bisakah seumur hidup aku bersama pria ini? Pria yang diam-diam menghangatkan hatiku yang sudah membeku?
Shota terbangun ketika itu juga. Perlahan, kedua matanya mulai terbuka. Cepat-cepat aku menjauh darinya. Kuberikan secangkir kopi untuknya, namun ia menolak. Aneh mengetahui bahwa kali ini ia menolak kopiku.
“Maaf, Yu, aku ngantuk sekali….”
“Tidak apa-apa,” kujawab seadanya. Shota menatapku ketika itu. Lama sekali.
“Kalau boleh, maukah kau tidur bersamaku malam ini? Maukah kau menemaniku malam ini?”
Jantungku berdetak kencang saat kata-kata itu terdengar di telingaku. Shota tidak berhenti menatapku. Aku menunduk mengetahui ia tidak berhenti mengalihkan pandangannya dari hadapanku. Aku tidak menjawabnya. Aku takut sekali mengatakan ya. Aku takut juga akan menolaknya. Secara hukum kami benar-benar sah untuk tidur bersama, tapi apa perasaan ini juga akan mengesahkan dua insan yang saling menyimpan misteri hidupnya?
“Kenapa tidak dijawab?” Shota bertanya, pandangannya masih belum lepas dariku. Ia beranjak dari tempatnya, mendekatiku, memegang telapak tanganku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun ada kekuatan yang begitu besarnya merobohkan semua pertahananku. Ada kekuatan besar yang membuatku diam tak berdaya mengiyakan semuanya. Shota menggandeng tanganku, menuntunku menuju kamarnya. Ia menyihirku untuk naik ke ranjang dan berbaring di sampingnya.
“Aku ingin kau tetap berada di sampingku, itu saja.”
Shota memelukku dari belakang. Aku berbaring dengan perasaan tak keruan. Sebagian tubuhku merasakan kehangatan yang lembut, beberapa di antaranya merasakan ketegangan yang luar biasa. Shota tetap melingkarkan tangannya ke tubuhku. Berulang kali ia mengatakan bahwa ia sangat kedinginan. Makin dingin yang ia rasakan, makin kencang lingkaran tangannya di tubuhku. Aku balikkan tubuhku, menghadap ke arahnya.
Suhu tubuhnya dingin sekali, sementara aku benar-benar merasa panas. Apa yang dirasakan oleh Shota? Kenapa hanya ia seorang yang merasa begitu dingin? Apa ia kena demam? Aku mulai khawatir. Kuperiksa kepalanya dan suhu tubuhnya. Kepalanya panas sekali. Aku segera beranjak dan mencari termometer. Kupasangkan pada ketiaknya, dan begitu termometer itu berbunyi, suhunya mencapai 39 derajat Celsius.
Aku turun untuk mengambil baskom berisi air hangat. Kuambil handuk kecil dan kukompres kepalanya berulang kali. Aku tidak bisa diam menunggunya. Apa yang membuatnya demam? Seharian ini ia ada di rumah, kok! Kuingat-ingat lagi apa yang telah dilakukannya sejak pagi tadi. Aku baru ingat, ia belum makan. Mungkin ia demam karena telat makan sejak siang tadi. Bagaimana bisa aku lupa kebiasaan buruknya itu? Aku cari obat penurun panas. Setelah ia meminumnya, ia kembali tertidur. Aku kompres lagi kepalanya dan aku cek lagi apakah suhu panasnya sudah turun. Kulakukan itu berulang-ulang. Aku pun mulai mengantuk dan terlelap di sampingnya hingga pagi.
“Shota?” tanganku meraba-raba sisi kiri kasur agar mendapati tubuh Shota di sampingku. Waktu tanganku terus menjelajah, Shota tidak tergapai. Aku segera terbangun. Aku melihat ke arah jam dinding Shota dan melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sial!! Lagi-lagi aku kesiangan!
Sebelum beranjak dari tempat tidur, aku tersadar tubuhku diselimuti selimut tebal berwarna cokelat. Aku tidak ingat, apakah tadi malam aku memakai selimut atau tidak. Aku pun bergegas turun dari ranjang Shota dan keluar menuju kamarku. Aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku sebelum turun untuk membuka kedai yang mungkin sudah dibuka oleh Edo (ia punya kunci duplikatnya).
Begitu aku turun beberapa menit, aku melihat selembar note yang ditulis oleh Shota untukku: “Maaf, aku berangkat pagi. Aku buatkan teh untukmu. Bisa dihangatkan, ada di dekat mesin kopi.” Aku menoleh ke arah alat mesin kopi kecil yang warnanya sudah berubah hijau. Aku segera menghangatkan tehnya dan mengambil telepon dekat dapur. Kutekan nomor milik Shota dan sambungan itu terhubung beberapa detik kemudian.
“Ada apa?”
“Hmm... arigatou!” ucapku, riang. Kutempelkan gagang telepon di telinga kananku sementara kedua tanganku sibuk membuka kamus saku Indonesia-Jepang, membolak-balik lembarannya sampai akhirnya menemukan satu kata yang pas untuk berterima kasih padanya. Dari seberang sana, Shota tertawa, mungkin menertawai pengucapanku atau keanehanku menggunakan bahasanya.
“Kenapa tertawa? Aku mau kau menjawabnya, Shota!” aku berpura-pura kesal sambil menyandar di balik dinding tembok. Terdengar suara Edo dari depan yang mulai memanggil namaku, namun aku tak peduli. Aku tetap berada di belakang, menunggu Shota berbicara, berusaha berbasa-basi semampuku agar aku bisa sedikit mendengar suaranya.
“Dooitashimashite,” akhirnya Shota menjawab. Suaranya terdengar jauh lebih hangat di telingaku, jauh lebih ramah dari biasanya. Aku mulai menatap langit-langit dapur. Perlahan dan aku yakin sekali, aku mulai merasakan Shota sebagai canduku. Kami tidak pernah melakukan hal intim apa pun selama kami menjadi sepasang suami-istri, namun keberadaannya memberikan sedikit ruang bagiku untuk bernapas.
Terkadang aku ingin pernikahan kami jauh lebih normal dari biasanya. Aku ingin kami memang seperti sepasang suami-istri. Aku ingin kami mulai saling berbicara dari hati ke hati. Aku menginginkan lebih dari apa yang kami jalani selama enam bulan ini.
“Shota, koishii... matteru yo...”
Kudengar Shota tidak menjawab apa pun. Keheningan makin terasa di antara sambungan telepon kami. Buru-buru kututup telepon tersebut dan berjalan meninggalkan dapur untuk pergi membantu Edo di kedai. Dalam hati aku memang ingin mengatakannya... “Shota, aku merindukanmu.... Cepatlah pulang....”
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Edo sudah pulang. Kini giliran pegawaiku yang lain yang berjaga di kedai. Aku pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi. Kubiarkan kopi tersebut tetap panas pada mesin pembuat kopi, agar saat Shota tiba, ia bisa segera meminumnya. Setelah kubuat kopi, aku kembali ke kedai.
Biasanya ia pulang paling lambat sampai pukul enam sore. Aku berusaha menenangkan diriku untuk menunggu hingga satu jam lagi, jika ingin meneleponnya. Aku pun kembali pada aktivitasku. Kulayani kembali para tamu dari mulai petang hingga malam tiba. Para tamuku pun akhirnya keluar satu per satu dari kedai setelah mereka sudah lebih fit untuk kembali ke rumah atau bekerja lagi.
Aku meninggalkan kedai di saat itu juga. Kunaiki tangga menuju lantai atas dengan cepat dan kuraih telepon genggamku. Kutekan nomor Shota, namun ia tidak juga menjawab. Tidak ada sambungan menunggu atau sibuk, yang ada hanya suara seseorang yang mengatakan bahwa telepon di luar jangkauan. Aku mulai khawatir. Aku tekan nomor kantor Shota. Hanya ada mesin penjawab yang menyuruhku memasukkan kode ekstensi untuk dihubungkan ke bagian Shota. Aku makin khawatir ketika mengetahui aku telah menelepon semua nomor telepon Shota, tapi tidak ada jawaban apa pun. Betapa bodohnya bahwa aku tidak mengetahui sedikit pun teman-teman kerjanya yang mungkin bisa kutanya mengenai keberadaan Shota. Akhirnya aku duduk lelah mengamati jendela di ruang atas dan berharap mendengar bunyi mobil Shota.
Sudah lima jam berlalu. Aku tidak tahu di mana Shota berada. Ia tidak memberi tahu sedikit pun ke mana perginya dia malam ini. Aku akan kesal sekali begitu esok pagi ia tiba dan tidak meminta maaf padaku. Ia benar-benar mengesalkan. Aku khawatir setengah mati dan ia seenaknya saja pergi tanpa memberi tahu. Sudahlah, aku mau tidur saja.
Shota belum pulang, padahal sudah dua hari. Aku mungkin sudah bisa melapor pada kantor polisi terdekat kenapa ia menghilang tiba-tiba. Aku bisa memberikan foto dan keterangan yang bermanfaat agar kantor polisi mau membantuku mencari Shota, namun aku tahu itu adalah ide yang paling bodoh. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.
Aku menelepon siang harinya ke kantor Shota, menekan ekstensi bagian Shota, kemudian ada seseorang yang mengangkat sambungannya. Seseorang dari tempat Shota pun menanyakan hal yang sama padaku. Shota memang minta cuti selama seminggu, tapi ia tidak tahu ke mana perginya Shota.
Aku kaget mengetahui Shota akan pergi selama itu tanpa memberi tahuku. Biasanya, ia pasti memberi tahuku, walau hanya terlambat satu jam. Biasanya, ia tidak begitu semisterius ini. Setelah selesai berterima kasih, kuputuskan saja untuk menitipkan kedai pada Edo yang sedang libur semesteran, sementara aku pergi mencari Shota.
Tempat pertama yang kukunjungi adalah apartemen Shota yang dulu. Mungkin saja ia kembali ke apartemennya sementara waktu ini. Aku tidak menemukan Shota di sana. Pintu apartemennya terkunci. Saat kutanya salah seorang keamanan di tempat tersebut, tempat itu memang sudah tidak dihuni selama enam bulan.
Aku tidak berminat sama sekali membuka kedai kopiku keesokan harinya. Aku meliburkan pegawaiku hari ini. Aku pun tidak berniat bangun dari tempat tidurku. Aku menunggu teleponku berdering dan mungkin saja Shota menelepon. Tepat ketika aku memikirkan hal itu, telepon rumahku pun berdering. Buru-buru kuangkat telepon tersebut untuk memastikan apakah suara yang berada di sambungan telepon itu adalah suara seseorang yang amat sangat kurindukan. Ketika suara wanita terdengar, aku kembali tak bersemangat. Ternyata, salah satu temanku menelepon. Ia memintaku datang ke acara reuni.
Begitu kumatikan teleponnya, aku duduk menyandar. Telepon tersebut kembali berdering. Saat kuangkat, lagi-lagi ini suara wanita. Aku baru saja ingin mematikannya waktu aku tahu bahwa ini suara wanita yang berbeda, yang jarang sekali kudengar suaranya. Waktu tahu bahwa yang menelepon adalah ibu Shota, mertuaku, aku terkesimak.
“Aku mau bertamu ke rumahmu, Ayu,” begitu kata mertuaku.
“Lama menunggu, ya, Nyonya Hajime?”
Aku membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan kue-kue kecil. Mertuaku terlihat sangat menawan di usianya yang tidak muda lagi. Wajahnya yang cantik itu membuatku yakin bahwa Shota mewarisi sebagian besar ketampanannya dari wanita ini. Ia duduk dengan anggun di sofa merah tempatku dan Shota biasa menghabiskan waktu.
“Tidak berubah, ya. Rumahmu sangat rapi, semuanya tersusun dengan baik.” Aku menunduk mendengarkannya berbicara. Sebenarnya, ide membuat rumahku tampak rapi karena Shota. Jika bukan Shota yang mengaturnya, mungkin rumah ini akan terlihat sangat berantakan.
“Shota sedang bekerja, ya?” akhirnya Nyonya Hajime menanyakan keberadaan putranya. Pandangannya kemudian teralihkan oleh satu kamar di depannya. Ia tidak tahu kalau sejak pertama kami memang tidak tidur sekamar.
“Kamar itu dijadikan Shota untuk tempat menyimpan barang–barangnya,” kataku, berbohong.
Ia kembali menoleh ke arahku, menatapku, kali ini lebih ramah. “Jangan panggil aku Nyonya Hajime, aku mohon. Kan sudah kuberi tahu kalau aku juga ibumu, Ayu.”
“Baiklah... Bu,” ucapku, sedikit ragu.
“Sebenarnya aku mau mengajakmu dan Shota makan malam bersama di rumah.” Ibu Shota mengambil cangkir teh dan meminumnya pelan–pelan. “Tadinya aku mau mengabarinya lewat telepon, tapi hitung-hitung ingin bertemu dengan menantuku, maka aku datang kemari.” Lagi-lagi ibu Shota tersenyum.
Aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Apakah aku harus mengatakan sudah dua hari Shota tidak pulang ke rumah, tidak mengabari apa pun kepadaku, dan aku tidak tahu dia pergi ke mana.
“Eh... aku tidak janji, Bu.”
“Kenapa? Apakah kalian sudah punya acara terlebih dahulu?” Wajah ibu Shota tampak kecewa.
“Eh... Shota...,” aku ragu-ragu mengatakannya.
“Shota sudah punya acara?” tanya ibu Shota. Bahasa Indonesia-nya baik sekali. Shota bilang, ibunya mewarisi darah Indonesia, tapi aku tidak mengerti dari sisi yang mana, karena wajahnya sangat Jepang.
“Maaf, aku lancang, Bu. Tapi, sebenarnya... sebenarnya Shota sudah dua hari ini tidak pulang,” akhirnya aku berbicara padanya. Aku menunduk malu, mengetahui bahwa mungkin di mata ibu Shota, aku bukanlah istri yang baik, yang tidak tahu ke mana perginya suaminya sendiri.
“Ia tidak menelepon? Tidak memberi tahumu sedikit pun?”
Aku menggeleng. Aku sudah berusaha meneleponnya, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku menjelaskan pada ibu Shota bahwa aku sama sekali tidak tahu kenapa ia pergi. Aku tidak tahu apakah aku telah berbuat salah, yang jelas ia tidak memberi tahuku ke mana perginya. Ibu Shota menoleh ke belakang, melihat ke arah kalender yang terpasang di dinding di belakangnya.
“Jangan-jangan ia benar-benar pergi....” Kalau tidak salah aku mendengar ibu Shota berbicara begitu pelan pada dirinya sendiri.
“Pergi?” aku bertanya akhirnya.
“Sebelumnya aku benar-benar minta maaf, tapi apakah Shota belum menceritakan apa pun padamu, Yu?”
“Menceritakan apa, Bu?”
“Bahwa ia akan pergi ke Jepang?”
“Ke Jepang?” aku mengulangi kata-kata itu, lebih untuk meminta penegasan bahwa aku tidak salah dengar. Ke Jepang! Untuk apa? Kenapa tidak memberi tahuku sedikit pun?
“Oh! Demi Tuhan, aku tidak mengerti! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang tidak aku ketahui, Bu? Aku mengkhawatirkannya sampai hari ini. Aku menunggunya saat sore itu, berharap ia pulang, tapi ia tidak pulang, tidak memberi tahuku. Ada apa ini?” Aku mulai kebingungan. Apa yang sedang Shota sembunyikan?
“Hari ini, tepat di hari ini...,” ibu Shota berhenti berbicara. Aku rasa ia sedang mencari kata-kata yang pas. Namun, aku sudah tidak sabar mendengarnya.
“Ada apa di hari ini, Bu?”
“Tepat di hari ini adalah tiga tahun peringatan kematian istrinya yang dulu.”
Bohong jika aku tidak mendengar apa yang ibu Shota ucapkan barusan. Kebenaran macam apa itu? Kebenaran macam apa? Apa yang sedang terjadi? Kematian istrinya yang dulu? Shota tidak pernah memberi tahuku ia pernah menikah. Ia tidak pernah sedikit pun memberi tahuku tentang hal ini. Padahal, aku menceritakan semua hal yang Akbar lakukan terhadapku, bagaimana perasaanku dulu padanya, tapi kenapa tidak sedikit pun ia membicarakan kehidupannya? Masa lalunya?
“Aku tidak yakin apa ini benar, namun aku tidak punya pilihan. Kalau kau tidak tahu, aku akan memberitahukannya, Yu. Istrinya meninggal tiga tahun yang lalu saat melahirkan. Keduanya tidak selamat saat proses kelahiran tersebut. Sejak saat itu Shota pergi dari Jepang. Ia memutuskan bekerja di Jakarta dan hidup sendiri meninggalkan Jepang.
Namun, setiap tahun, setiap peringatan kematian istri dan anaknya, ia pulang ke Jepang untuk memperingatinya,” kata ibu Shota, sambil mengusapkan tisu ke matanya yang
mulai membasah.
Aku tidak mampu berbicara. Aku tidak tahu, apakah aku sedang terkejut atau tidak percaya pada kenyataan ini. Namun, aku merasa seperti sedang ditampar oleh sesuatu. Pandangan mata itu... aku jadi ingat pandangan mata Shota yang begitu hampa, kosong, seperti ia tidak hidup di dunia ini. Aku jadi mengerti kenapa ia memintaku menikahinya, meskipun ia belum mengenalku waktu itu.
“Tadinya kami takut Shota akan menjadi gila. Aku takut sekali Shota akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah kematian istrinya, ia menjadi sangat pendiam. Ia tidak pernah menangisi keadaannya, namun sikapnya yang seperti itu malah membuat kami resah. Tiga hari setelah kematian istrinya, tiba-tiba ia minta dipindahkan ke Jakarta. Semuanya sangat tiba-tiba. Enam bulan yang lalu ia datang padaku dan bilang mau menikahimu. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi semua itu terasa aneh bagiku,” ujar ibu Shota, pelan. Aku sendiri masih sangat terkejut dengan kebenaran ini. Aku belum tahu harus berbuat apa.
“Karena itu aku sedikit lega, walaupun terasa aneh, mengetahui ia akan menikah lagi. Setidaknya ia tidak sendiri, itulah yang aku harapkan. Ia tidak sendiri dan melakukan hal-hal bodoh seperti yang pernah dilakukannya setahun yang lalu.”
“Apa yang dilakukannya setahun yang lalu?”
“Di suatu hari ia mengatakan padaku ia ingin bersama dengan istri dan anaknya. Ia ingin menyusulnya. Ia bilang ia ingin secepat mungkin menyusul mereka.”
“Maksud Ibu, ia ingin bunuh diri?”
“Begitulah... aku baru sadar saat mengetahui ia sudah berada di rumah sakit, dengan banyak infus mengalir di tubuhnya.”
“Shota tidak seperti itu. Ia pendiam, tapi tidak seperti itu!” sebisa mungkin aku menangkis kebenaran itu.
“Dulu ia seperti itu. Kuperhatikan belakangan ini, semenjak hidup denganmu, ia sedikit lebih hidup.”
“Lalu... apakah ia akan kembali?”
“Aku sendiri tidak tahu. Biasanya ia akan pulang sehari setelah peringatan kematian itu.”
“Bersabarlah padanya, Yu. Aku sebagai seorang ibu benar-benar memohon padamu. Bantulah ia untuk kembali menjalani hidupnya.”
Aku pikir Shota benar-benar akan datang sehari setelah peringatan kematian istri dan anaknya. Namun, sudah hari kedua ia tidak juga datang. Sudah lima hari Shota tidak kembali ke rumah. Aku sangat merindukannya. Aku merindukan hari-hari kami yang penuh ketenangan, walau hanya berdua dengannya. Aku merindukan genggaman tangannya. Kini, ketika aku tahu kebenarannya, aku makin merindukannya.
Aku berdiri di depan pintu kamar Shota. Ia tidak pernah mengunci pintu kamarnya, namun pintu kamarnya selalu tertutup. Aku memberanikan diri untuk membuka kamarnya. Aroma Shota seperti ada di sekelilingku. Kamarnya tertata rapi. Kulangkahkan kakiku masuk mendekati lemari kecil dekat dengan tempat tidurnya. Aku pikir aku bisa menemukan keterangan lebih jelas mengenai masa lalunya di lemari tersebut, tapi tidak ada sedikit pun keterangan yang menjurus ke sana.
Kubuka lemari pakaian Shota, ada kardus berwarna putih di bagian atasnya. Kardus itu sudah berdebu, jadi aku turun ke bawah untuk membawa lap basah dan membersihkannya. Saat selesai kubersihkan, kubuka tutup kardus tersebut perlahan. Aku tidak yakin apakah ini hal yang benar, mencuri-curi dokumentasi pribadinya tanpa seizin Shota, aku tidak tahu.
Aku pandangi album berukuran sedang berwarna cokelat. Ada banyak kertas berisi tulisan, beberapa CD musik dan dua notes dengan ukuran yang sama seperti ukuran album. Aku tidak mengerti tulisan dalam kertas dan notes tersebut, karena ditulis dalam huruf kanji. Kuputuskan untuk menelepon Edo dan menanyakan padanya tentang isi notes dan kertas-kertas ini.
Sambil menunggu Edo ke atas, aku duduk menyandar pada ranjang Shota dan mulai membuka album fotonya. Semua foto itu adalah foto-fotonya ketika kecil, saat sekolah dasar hingga universitas. Di antara orang-orang yang berada di foto tersebut, aku menemukan satu orang yang selalu ada, seorang gadis yang di foto universitasnya sudah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
Di halaman berikutnya aku melihat Shota berfoto berdua dengan wanita tersebut. Di bawahnya ada tulisan dalam bahasa Inggris: ‘What a day with Reika’. Jadi namanya Reika. Aku melihat gambar cangkir berwarna hijau dan ada tulisan ‘Reika’s fav is tea’. Di halaman selanjutnya, mereka berdua dalam kimono yang khas, seperti yang sering kulihat dalam film-film Jepang saat upacara pernikahan.
Reika memakai kimono putih dengan bunga-bunga pink. Rambutnya ditata sedemikian rupa seperti wanita dalam film Memoir of A Geisha. Shota terlihat sangat tampan. Ia memakai kimono berwarna biru tua dan tersenyum. Aku ambil salah satu CD yang berada di kardus tersebut.
Aku berdiri untuk mendengarkan CD tersebut. Begitu kuputar tombol play, lagu tersebut terdengar sangat enak, walaupun aku tidak tahu apa arti liriknya. Edo datang di saat itu juga. Begitu ia mendengar lagu-lagu ini, ia segera tahu siapa yang menyanyikannya. “Aku suka track yang ke-5!” aku membiarkan Edo mendengarnya. Ia bilang lagu ini dinyanyikan oleh L’Arc en Ciel dengan judul Flower. Mungkin aku menyukainya, karena inilah satu-satunya lagu yang bisa kubaca dalam bahasa Inggris. Tapi, percuma saja, begitu tombol play kutekan, si vokalis malah menyanyikannya dalam lirik Jepang. Di catatan pinggir CD, aku melihat tulisan ‘Reika’s fav’. Ternyata, lagu ini juga lagu favorit mendiang istri Shota.
“Mbak, kalau Shota-san tahu barang-barangnya digeledah seperti ini...,” Edo ragu-ragu waktu kuminta membaca notes-nya. Aku segera menyahut, “Biar saja. Dia juga nggak peduli kalau aku menunggunya!”
Edo cukup mahir ternyata. Ia mengartikan dengan baik setiap kata yang terdapat di dalamnya. Edo bilang, ini buku harian milik seorang wanita. Sedangkan kertas-kertas tersebut diberikan oleh seorang laki-laki untuknya. Ia membaca satu kalimat terakhir dalam buku itu yang ditulis dalam bahasa Inggris, then seek, not, sweet, the If and why, I love u now until I die, for I must love because I live, and life in me is what u give... sebuah bait dalam puisi karya Christopher Brennan, Because She Would Ask Me Why I Loved Her.
Aku diam mendengar Edo membacanya. Aku juga tidak sanggup membendung lagi air mata yang sudah berhari-hari lalu ingin kukeluarkan. Edo mendekatiku dan memelukku. Shota ternyata sangat mencintainya. Shota sangat mencintai wanita tersebut, sahabat kecilnya. Itulah kenapa ia sulit sekali keluar dari kepedihan hidupnya.
“Apakah salah karena aku mulai mencintai laki-laki ini?”
Berandai-andai Shota akan pulang hari ini rasanya telah menjadi kembang tidurku di siang hari. Aku menyerahkan operasional kedaiku pada Edo, sementara aku selalu duduk di depan jendela lantai atas, menunggu SUV putih Shota pulang.
Aku mulai hidup dalam khayalan. Aku mulai membayangkan Shota pulang dan duduk bersamaku di halaman belakang atau hanya sekadar duduk di sofa sambil menonton teve. Aku mulai membayangkan diriku pergi bersama Shota. Ia menggandeng tanganku dan membawaku ke mana pun aku mau. Aku lebih banyak melamun daripada menyibukkan diri. Aku sudah mendengarkan CD milik Reika yang diberikan pada Shota. Aku memutarnya setiap saat, meskipun aku tidak mengerti artinya.
Aku memakai kimono yang diberikan oleh ibu Shota di dalam rumah. Aku memang tidak bisa memasang obinya dengan baik, yang penting aku memakainya. Aku memakainya menyusuri anak tangga, dan terkadang hingga ke kedai. Edo tahu bahwa aku mulai bertingkah seperti orang gila, tapi aku tidak peduli. Aku pergi ke salah satu restoran Jepang hanya untuk membeli takoyaki. Aku merindukan semua hal yang ia perkenalkan padaku. Namun, lebih dari itu, aku sangat merindukannya, dirinya... sangat.
Aku tahu, saat ini perasaanku sedang kacau dan aku tidak tahu harus lari ke mana. Edo pun bingung untuk menyadarkanku. Terkadang ia mengasihani diriku dan di satu kesempatan ia seperti ingin menasihatiku. Sayangnya, tidak kugubris. Aku seperti orang bodoh, mengetahui bahwa sudah hampir seminggu aku ditinggalkan oleh Shota.
Kini aku merasa sangat sial. Dulu aku ditinggalkan calon pengantin priaku, sekarang aku ditinggalkan oleh teman hidupku. Sungguh menyedihkan.
Aku melangkah dengan kaki telanjang di malam berikutnya menuju kamar Shota yang tak terkunci. Aku mengusap-usap ranjangnya dan tidur meringkuk di sana. Hari makin malam, aku berusaha menutup mataku, namun tidak juga bisa tidur. Telepon genggamku bergetar, ketika aku mencoba untuk menutup mataku sekian kalinya. Nomor tanpa identitas yang kukenal muncul di layar. Aku memang sengaja membiarkannya tetap berdering. Aku benci sekali harus menerima telepon seseorang yang tidak berada dalam list-ku. Namun, dering itu makin lama makin memekakkan telinga. Mau tak mau kuangkat.
“Halo?”
Tak ada jawaban.
“Halo?” Lagi-lagi tak ada jawaban, setelah kuikut diam menunggu jawaban si penelepon. Waktu aku mau mematikan, tiba-tiba suara si penelepon terdengar. Aku mengenal suara ini... suara yang sama yang selalu menemaniku selama enam bulan ini. Aku sangat mengenal suara yang sangat kurindukan ini. Tanpa dia harus menyebut namanya, aku tahu bahwa ini Shota... suara lembut ini milik Shota....
“Apakah aku masih diperbolehkan pulang ke rumah, jika aku telah pergi selama tujuh hari tanpa pamit dan mungkin kau mengkhawatirkanku?” suaranya agak berat, sedikit pelan, terdengar sangat lembut, namun hati-hati.
Aku tidak bisa menjawab teleponnya, karena tahu-tahu saja air mata turun deras. Aku merindukan sekali suara ini. Aku berusaha untuk tetap tegar, tapi aku tak bisa. Air mata ini sudah telanjur jatuh dan rasanya aku terdengar seperti sedang terisak.
“Apakah mendengar suaraku saja menyakiti hatimu, Ayu?” ia bertanya, lebih pelan. Aku merasakan kepedihan yang sama pada kata-katanya, namun ia lebih tegar, tidak menangis sepertiku. Aku mengangguk mengiyakan, tapi, toh, dia tidak bakal melihatku.
“Aku minta maaf, Yu. Aku minta maaf karena tidak pernah mengatakan masa laluku sebelumnya padamu. Aku minta maaf karena berbuat seperti ini padamu.”
Sekuat tenaga kutahan isakan tangisku. Aku meringkuk lebih kencang dalam malam yang dingin. Suara yang menyakitkan itu ternyata bisa menghangatkan sebagian jiwaku. Kami berdua sama-sama diam. Aku tidak bisa bicara, karena masih menangis dan kupikir dia pun mendengar isak tangisku, maka Shota ikut terdiam. Kami berdua sama-sama terdiam dalam suasana malam yang sunyi. Hanya tangis yang memekakkan kesunyian kami.
“Apa yang kau dengar dari ibuku memang benar. Ia kekasihku, teman kecilku, istriku, dulunya. Ia meninggal tiga tahun lalu, saat melahirkan calon putraku. Setiap tahun aku selalu mengunjungi makamnya dan memperingati hari kematiannya,” ia menjelaskan dan membiarkanku mendengarnya.
“Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melihat wanita lain. Aku berjanji pada diriku bahwa hanya dia yang kucinta, selalu. Itulah sebabnya, aku selalu datang dan menengoknya, agar ia tahu bahwa sampai kapan pun hati ini hanya untuknya.”
Tangisku yang mulai mereda tiba-tiba terdengar kembali mengeras. Aku tidak kuat menahan kesedihanku dan kepedihanku, karena tahu bahwa aku tidak mungkin mendapatkan hatinya.
“Tapi, ketika aku duduk di kedaimu, memandangi jalanan raya dan terkadang melihatmu bekerja keras, melayani para pelanggan, kau begitu hidup. Kau penuh dengan kehidupan. Lewat secangkir kopi, aku menemukanmu. Aura kehidupanmu mengalihkan duniaku yang suram.”
“Jangan teruskan lagi, Shota!” aku pun akhirnya berani berbicara. “Aku tidak kuat mendengarnya,” aku berbisik pelan.
“Biar saja... biar kau tahu apa yang sebenarnya ada di hatiku. Tadinya aku tidak ingin datang ke peringatan itu, karena aku melanggar janjiku sendiri untuknya. Tapi, aku sadar bahwa meski ia tiada pun aku tetap menyayanginya dan tidak kupungkiri bahwa kini aku punya tempat untuk pulang. Aku punya seseorang yang akan menungguku pulang, duduk bersamaku, walau tak ada sedikit pun topik yang kubicarakan. Karena dia menungguku... aku meminta maaf padanya di nisan itu, bahwa aku telah telanjur membagi hatiku padanya dan seseorang ini. Aku telanjur menyayangimu,” suara Shota terdengar lemah di akhir kalimat.
Aku menunggunya berbicara dan ia tidak lagi berbicara. Teleponnya tetap tersambung, namun suara tersebut menghilang. Yang ada hanya suara isakan yang jauh lebih pelan dariku, tapi terdengar sangat dalam dan menyesakkan.
“Shota...?” seperti tersentak, entah kenapa hanya namanya yang ingin kupanggil.
“Shota, kembalilah ke rumah. Aku sangat merindukanmu. Cepatlah pulang, Shota-ku.” Dan, sambungan telepon itu kemudian terputus. Sambil memandangi telepon genggamku, aku menangis lagi, bukan karena hal lainnya, namun karena aku sendiri tidak mengerti kenapa aku sangat menyayanginya. Ia pasti kembali. Dalam benakku kuyakin ia akan kembali. Yang tidak kumengerti dari hubungan kami, tidak ada seorang pun yang berani memberi tahu tentang perasaan kami masing-masing.
Sehari setelah pengakuannya di telepon tersebut, Shota kembali ke rumah, ia makin memandangku dengan cara yang lebih hidup. Matanya tidak lagi kosong. Ia memelukku kencang dan berulang kali meminta maaf padaku. Kami memulai untuk tidur bersama. Aku mengangkat seluruh barang–barangku dan berbagi lemari dengan Shota. Aku tidak tahu seperti apa hubungan kami ini, kami saling menunggu saat yang tepat sampai kami mengerti dan menyadari bahwa sebenarnya kami saling membutuhkan, saling mencinta.
Dan, di suatu hari saat aku turun ke kedai pagi-pagi sekali. Ada sebuah pajangan dinding yang membuatku tersenyum lebar. Shota yang memasangnya pagi ini. Sebuah foto berbingkai besar berwarna hitam putih. Dalam foto itu ada sepasang kekasih yang saling menyuapi takoyaki bergantian. Si wanita tersenyum malu-malu, sementara si pria berusaha menahan rasa malunya.
Aku terkejut waktu mengetahui itu kami, foto yang Shota ambil diam-diam di acara matsuri kemarin. Inikah sesuatu yang ingin kau berikan itu? Aku lebih terkejut ketika Shota sudah berada di belakangku saat aku memandanginya. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan membisikkan ucapan cintanya yang pertama padaku... daisuki. Kata cinta pertama untukku. Ia lantas tersenyum memandangku dan menciumku untuk pertama kalinya.

TAMAT